Sambil minum¹ soto, tapi tak dapat saya sebut menikmati soto karena asin, saya membaca catatan kaki pada spanduk yang warnanya mengingatkan saya kepada Shell. Tertulis “note: tidak melayani ½ porsi”.
Akhirnya saya menanya Mas Soto soal setengah porsi. “Kalo nasi sih boleh, Pak,” katanya.
“Kalo soto?” saya bertanya lagi.
“Mmmm… gimana ya. Pokoknya nggak bisa, Pak.”
Dia tampak kebingungan merumuskan jawaban, maka saya bantu, “Kalo soto setengahnya itu nanggung ya, Mas.” Dia mengiakan.
Saya hampir mengusulkan agar setengah porsi tetap dilayani tetapi harga sama dengan seporsi. Pasti orang akan pesan seporsi tambahan.
Baiklah, soal porsi makanan itu memang merepotkan. Normal di suatu warung bisa terlalu banyak bagi kita sehingga kita tak dapat menghabiskan. Padahal membuang makanan itu tidak baik. Tetapi jika waduk kita sudah pol bagaimana?
Maka di kedai yang baru pertama kali saya datangi saya amati porsi yang sudah tersaji di meja lain. Atau, paling aman, saya bertanya kepada pramusaji.
Tentu untuk soto tadi pagi dekat pasar itu saya tak berniat menambah porsi. Selain cepat kenyang juga kurang mengesankan rasanya.
¹) Teman saya bilang, untuk apapun yang berkuah itu cara mengonsumsinya disebut minum. Soto dan rawon termasuk itu. Es buah dengan banyak isi mestinya disebut makan, seperti makan es krim. Tetapi untuk mi rebus berkuah dia bilang makan.