Salah satu bukti bahwa saya sudah tua dan terus menua adalah banyak hal yang tak saya ketahui apalagi saya pahami. Tetapi rasa ingin tahu — ya, kepoisme — kadang masih melekat. Misalnya stiker label para botol minuman kecil kosong ini. Saya membaca label saat akan memindahkan kantong sampah kecil di dapur. Itu bekas minuman anak bungsu saya.
Ternyata itu nama acara bazar yang sedang berlangsung, 3—4 Februari ini, di Fotkop, Cipete, Jaksel. Ada infonya di Instagram. Apa itu Fotkop saya juga baru tahu. Jangankan sekarang, dulu sebelum pandemi dan saya sering di luar rumah, saya tak kenal semua tempat di Jakarta apalagi Jabodetabek.
Misalnya pun saya hidup di kota kecil — orang bilang “di daerah” — saat ini saya juga belum tentu tahu aneka kegiatan di sana padahal informasi berlimpah, apalagi ada media sosial.
Bagaimana dengan media sosial, misalnya yang sedang trending di X? Banyak yang tak saya pahami. Jika saya tak paham berarti memang bukan untuk saya. Misalnya dari dunia K-pop. Dunia hiburan di Indonesia juga bangan yang tak saya pahami. Banyak nama pesohor saya ketahui karena dibahas di media sosial atau menjadi judul berita lalu saya klik.
Saya orang masa lalu. Meskipun Google dan layanan informasi berbasis kecerdasan artifisial dapat menjawab rasa ingin tahu, saya tak sering tak memanfaatkannya. Saya rasa saya tak sendirian. Banyak orang sebaya yang begitu.
4 Comments
kapasitas pengetahuan manusia terbatas, paman.. saya yang “masih muda” ini juga ngga paham banyak, hal..
Nah itulah.
Saya belum tahu temuan terbaru berapa kapasitas memori manusia tetapi lbh penting lagi kemampuan komputasi dalam hal mengorganisasikan kognisi, belajar, menganalisis, dan mengambilnya keputusan lalu tindakan. Rumit kayaknya ya krn manusia punya etika, punya rem 😁🙈
ini yang ga dipunyai AI.. serem juga sekarang apa-apa AI.. 🤖
Dulu cuma bagian dari fiksi ya, Zam