Sabar, jangan keburu gusar, karena judul yang berselera rendah. Misalnya itu judul karya orang lain saya pun takkan membaca isi tulisan. Inti cerita: saya memesan lalapan di lokapasar. Pesanan datang disertai sekilogram tahi kambing. Tetapi saya tabah, tidak marah.
Saya memesan daun pohpohan (¬ lihat: Greeners) karena penjual sayur di sekitar saya tak menjualnya. Di Pasar Kecapi juga belum tentu ada. Di supermarket kadang ada. Di Jateng dan DIY saya dulu tak mengenalnya.
Saya suka pohpohan tetapi tak sampai ketagihan. Saya mengenalnya pun telat, medio 1990-an di sebuah rumah makan Sunda di Bogor¹. Dulu di warung Ampera, Jalan Ahmad Dahlan, Jaksel, saya bisa menggado pohpohan dengan sambal kecap sambil menunggu lauk lain digoreng.
Nah, karena lagi pengin padahal sulit mendapatkan, musim hujan pula, saya memesan di Tokopedia. Unik juga, si pelapak yang memetik dari kebun sendiri membonuskan bibit stek pohpohan.
Maka saya ambil opsi itu. Sekalian pesan bibit di luar paket. Saat memesan saya ingat harus ada pupuk. Kebetulan di lapak tersebut juga menjual kompos tahi kambing.
Saya bertanya apakah butiran bulat sudah kering, dijawab ya. Apakah bau, dibilang tidak. Setelah barang tiba saya taburkan ke pot tanaman, tak hanya pohpohan. Karena tanah masih basah akibat hujan, ternyata menguar juga bau kotoran kambing. Apa boleh buat, tahi kambing bulat-bulat, kata pepatah.
Semoga penanaman pohpohan ketiga kalinya ini berhasil karena dua kali sebelumnya gagal. Mungkin karena tanpa si apa boleh buat.
¹) Mungkin saya pernah mengenal sebelumnya, pada 1991, saat menginap di rumah Aristides Katoppo, Cisarua, dan tuan rumah menghidangkan sarapan dengan lalapan dari kebun, ada yang saya sangka daun ampelas, namun saya tak mencari tahu
5 Comments
wah, dasar kambing!
Hidup kambing! 🤣👍🤝
Telek wedhus.
Malah jadi ingat Butet Kartaredjasa.
Halah!
Kok bukan telethong kebo ya.
Kalo tai kucing buat makian. Tapi ada penganan bernama itu.
Kalau menurut Gombloh (sebelum sedo) kan tahi kucing bisa terasa cokelat.😁