Bagi saya pagi itu, pukul setengah sebelas lebih lima, dalam cuaca sedikit berawan, awal Februari, sungguh panas. Saya tak tahu misalnya pandemi Covid-19 masih mengancam, adakah orang berjemur diri di jalan atau halaman depan rumah pada jam segitu. Nyatanya kedua perempuan itu nyaman duduk di bangku trotoar jalan raya.
Misalnya ada dua perempuan lain, bercelana pendek dan ber-tank top, apakah mereka juga akan duduk di bangku lain di trotoar? Bisa saja. Saya pernah melihatnya. Tetapi mereka itu dua perempatan bule — maksud saya Kaukasoid, berkulit putih; maaf, jika istilah sebelumnya kurang sopan — yang mungkin turis.
Orang sini? Sudah jelas jawabannya, dengan maupun pasal UV. Pria pesepeda saja banyak yang mengenakan manset pembalut lengan. Atau seperti Ganjar Pranowo, berjalan-jalan di bawah panas mentari dengan legging ditutupi celana kolor pendek.
Secara umum kita kurang menyukai panas mentari yang menyengat. Hanya terpaan sinar hangat yang kita sukai. Maka banyak orang naik motor dengan berjaket padahal panas gerah.
Tetapi bagi anak kecil, panggangan sinar matahari kadang tak mereka hiraukan. Maka terhadap cowok kecil yang sudah mulai gemar ngeluyur, bersepeda maupun berjalan kaki bersama teman-temannya, istri saya berkomentar, “Itu anak lanangmu sekarang item.”
Saya teringat pengalaman kecil empat belas tahun silam, saat gerakan Koin Keadilan, di kantor saya. Teman saya mempersilakan reporter dan kamerawan televisi asing, dari belahan utara bumi, mewawancarai dirinya dalam ruang. Namun mereka menolak. Si reporter bilang, “Anda beruntung berlimpah sinar matahari. Bagaimana jika kami mewawancarai Anda di luar saja?”
2 Comments
Kaya sinar matahari, tapi kekurangan vitamin D….
https://www.kompas.com/tren/read/2024/01/13/090100265/sebagian-orang-indonesia-kekurangan-vitamin-d-perlukah-minum-suplemen-
Aha!