Penitipan motor dan parkiran motor itu berbeda. Soal titip motor, dari rumah orang harus naik apa supaya hemat?
↻ Lama baca 2 menit ↬

Penitipan motor di Jatiwarna, Kobek, Jabar

Ini hal lumrah dalam wilayah aglomeratif macam Jabodetabek: jasa penitipan sepeda motor di suatu tempat karena pengendaranya akan melanjutkan perjalanan dengan berganti moda angkutan. Bisa ganti mobil jemputan dari kantor, taksi, bus umum, hingga sekian jenis kereta rel.

Sumber masalah adalah pertumbuhan organik permukiman yang tidak selalu mendahulukan ketersediaan jaringan transportasi publik.

Sebenarnya sih itu bukan hanya di Jabodetabek. Di kota-kota lain ada penitipan motor untuk komuter. Teman masa kecil saya di Salatiga, Jateng, membuka penitipan motor di pertigaan Klaseman, Jalan Osa Maliki.

Memang sih untuk Jabodetabek ada perbaikan jaringan transportasi pada era Jokowi, namun di zona tertentu ketersediaan angkutan pengumpan belum lancar. Dari rumah, orang akan naik apa?

Maka sepeda motor menjadi alat transportasi publik dalam makna karikatural: sarana angkutan barang dan orang yang disediakan oleh warga untuk dirinya sendiri.

Di zona perbatasan macam Jatiwarna (Kobek, batas Jabar dan DKI), pun di Pinangranti (Jaktim, batas DKI dan Jabar), penitipan motor tersedia. Di hampir semua stasiun kereta di lingkar periferal Jakarta selalu ada penitipan motor, bahkan mobil. Untuk motor, ongkos mulai Rp5.000, pagi hingga malam. Kalau malam hingga pagi itu namanya menginap.

Apa sih perbedaan menitipkan dan memarkir motor?

Dalam praktik, dua istilah itu berbeda makna. Secara faktual, pengendara sama-sama meninggalkan motornya. Penitipan bermakna motor ditinggal karena pengendara akan melanjutkan perjalanan. Sedangkan untuk parkir, pengendara tak pergi jauh meninggalkan lokasi. Soal durasi, untuk kedua urusan itu bisa lama bisa sebentar.

Saya belum pernah menitipkan dalam arti parkir inap di Stasiun Gambir, Jakpus. Tetapi layanan sejenis, tanpa menginap, pernah saya coba di Bandara Soekarno Hatta. Saya ke Surabaya pagi, menjelang sore kembali ke Jakarta.

Penitipan kendaraan yang belum saya coba adalah di pegadaian — bukan menyekolahkan mobil — dan kantor polisi. Libur Lebaran dan Natal tahun lalu polisi menyediakan halaman di sejumlah markas untuk penitipan motor.

Hanya maling nekat yang akan mengambil kesempatan memetik motor di sana. Melakukan hal itu berarti melakukan dua kesalahan: mencuri dan mempermalukan polisi di markas sendiri. Untuk kesalahan kedua saya belum menemukan jerat hukumnya secara pidana.

Soal lain, maling motor punya cara menyimpan barang: memarkirnya di layanan 24 jam rumah sakit. Penadahlah yang akan mengeluarkan motor itu, dengan membayar ongkos parkir.

Belum ada berita maling menitipkan motor curian di kantor polisi. Urusan dokumen motor dan bukti identitas diri menjadi kendala.

Penitipan motor di Jatiwarna, Kobek, Jabar

7 thoughts on “Titip motor, parkir motor

  1. dulu waktu kuliah di Jogja, ada teman yang menitipkan motor di depan parkiran Stasiun Lempuyangan, untuk pulang ke Solo naik Prameks. dari Stasiun Purwosari, ia dijemput dan pas balik Jogja, diantar keluarga dan sampe Lempuyangan bisa langsung pake motor. entah sekarang apa penitipan motor itu masih ada apa ngga sekarang.

    kalo di Jerman, terutama di kota-kora kecil, biasanya ada parkir mobil bagi yang hendak komuter naik kereta regional. di kota kecil memang biasanya tidak ada transportasi publik. tentunya berbayar.

    sementara di kota besar biasanya ada parkiran sepeda yang gratis, asal dikunci. tapi parkir sepeda ini rentan dicuri.

  2. Tatkala bekerja di Yogya, saya sering melaju bawa dua motor. Dari rumah di Solo naik motor lalu saya titipkan di tempat penitipan motor di Terminal Tirtonadi Solo, kemudian naik bus ke Yogya turun di tempat penitipan motor di Janti, Yogya, ambil motor satunya lalu saya tunggangi ke kantor.

    Ongkos penitipan motor di Tirtonadi bisa dibayar harian maupun abonemen bulanan. Harian, berlaku sampai pukul 12 malam. Selewat itu, bahkan hanya lewat lima menit, diitung dua hari. Dulu saya sering anyel, ambil motor pukul 12 lebih sedikit, kena tarif dua hari. Penjaga titipan tak peduli, tak mau ngasih keringanan meski tahu saya tiap hari nitipkan motor. Pidihil hampir tiap hari saya ambil motor sesudah pukul 12 malam.

    Akhirnya saya milih abonemen bulanan, yang berarti datang setelah pukul 12 malam dihitung cuma sehari.

      1. Enam tahun kerja di Yogya, saya pernah kos, pernah jadi doktor, dan pernah pula melaju seperti saya tulis panjang di atas. Kadang-kadang saya melaju naik KLX, dari rumah sekitar pukul 12 siang, start pulang dari kantor jelang pukul 12 malam setelah koran Tribun Jogja mulai naik cetak, sampai rumah sekitar pukul dua dini hari. Biasanya di perjalanan berhenti untuk makan di warung.

        Perjalanan pulang serem, karena setelah Delanggu (pertigaan Pakis) saya belok ke jalan pintas yang lebih dekat ke rumah, yang bukan jalur yang dilewati bus sehingga sepi dan gelap….

        1. Uh apa ndak bahaya, apalagi lewat jalan sepi?
          Saya dulu waktu masih kuat naik skuter, awal kerja, takut tapi terpaksa malam hari melewati jalan sepi yang memintas karena menghindari asrama haji jalan Pondokgede yang macet saat kita itu akibat menjadi embarkasi pelbagai daerah, dengan sekian ratus pengantar ada yang pake bus apalagi saat menjemput.

          Jalan sepi antara TMII dan Cilangkaowyang dulu kanan kiri kebun itu kini kado permukiman.

          1. Bahaya sih, tapi saya nggak peduli😁 karena terpaksa seperti Paman dulu itu. Untunglah, aman terus.

            BTW pernah satu kali, saat dini hari sekitar pukul 01.30, suasana gelap, saya ngebut di atas KLX, di dekat sawah nyelonong seekor kucing yang kemudian tertabrak trail saya. Sempat seleoran, beruntung saya tidak jatuh. Siang hari di rumah saya cek pelek depan saya peyok gara-gara nabrak kucing yang berlari (jadi seperti nabrak batu).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *