Sebutan tante bisa bikin marah

Niatnya menyapa seseorang dengan akrab tapi dia atau pasangannya marah. Kecerdasan sosial itu gampang-gampang susah.

▒ Lama baca 2 menit

Sebutan tante bisa bikin marah

Beredar video, seorang pria penjual bensin marah karena seorang pembeli menyebut istrinya tante. Panggilan atau sapaan memang bisa simpel tetapi bisa juga ribet. Beda orang, beda tempat, beda waktu, dan beda latar, bisa ditafsirkan berlainan oleh pihak yang disapa.

https://twitter.com/KontenBerfaedah/status/1732616062993400054?t=fjoumk-sCwoksNZEsE79qA&s=19

Saya pernah menulis, seorang anak tak terima ketika ibu muda tetangga menyapa ibunya “mbak”. Padahal sudah lama begitu, sejak mereka sama-sama menghuni sebuah kompleks perumahan di Bogor, Jabar. Bagi si anak, mbak adalah sebutan untuk untuk pekerja rumah tangga (PRT).

Beda tempat, beda cara, beda konteks. Teman saya, keturunan Cina, nyaman saja disebut mbak di kantor lama, dari sesama sejawat, dan kemudian dari anak buah di perusahaannya. Misalnya dia dipanggil cici atau enci dari kalangan di luar etnis, dia merasa dicinakan kembali — resinofikasi sepihak.

Tentang panggilan mas, saya juga sudah membahas. Di kalangan orang Jawa, anak kecil pun bisa dipanggil mas dan mbak, setidaknya di kalangan internal. Sebutan mas dan mbak tak harus terhadap yang lebih tua. Hal serupa berlaku pada sapaan abang dan bang.

PSI pun menyebut ketua umumnya Mas Kaesang (28), padahal menurut Grace Natalie (41) kepada Rhenald Kasali di YouTube, Kaesang menyebut dirinya tante.

Jadi harus bagaimana menyapa seseorang dengan sebutan? Tergantung mana sapaan yang dia dapat menerimanya. Lebih sip jika dia sering menyebutkan diri sehingga kita tinggal mengikuti. Misalnya bloger Pak Dedi (Dedi Dwitagama) yang seorang guru. Rhenald pernah mengenang, ketika dulu bekerja di Kompas Gramedia semua orang adalah mas dan mbak, apapun etnisitasnya, sedangkan panggilan pak itu untuk senior, misalnya Jakob Oetama.

Menyamaratakan sapaan kepada semua pria dengan mas dan kang, dan terhadap semua perempuan dengan mbak dan teh, tentu kurang bijak. Pengecualian berlaku untuk tokoh seperti Kang Emil (Ridwan Kamil, 52) — pun Mang Ihin (Solihin G.P.,96) dan Ceu Popong (Popong Otje Djundjunan, 84).

Juga kenyataan, tak semua orang Jawa nyaman dipanggil pakde dan bude. Salah satu dalih, keponakan di keluarga besar tak menerapkan sebutan itu. Hanya ada pak dan bu.

Ada sih alasan lain, pakde dan bude memberi kesan tuwèk. Saya sih nyaman saja dipanggil oom dan pak oleh cucu tetangga, bahkan oleh cucu-cucu istri saya karena ortu mereka memanggil bibi atau buliknya itu mbak. Cucu tetangga menyebut istri saya eyang, ortu dan kakek serta neneknya pun ikut.

Ya, tak semua orang bisa dimaskan dan dimbakkan begitu saja. Misalnya terhadap keluarga keraton. Dulu rombongan pelayat dari Jakarta saat melayat ke Keraton Surakarta membuat bingung penerima tamu karena mereka ingin bersua sejawat bernama Mbak Koes. Memang di kantor dia disebut begitu, bahkan oleh sopir dan OB.

Penerima tamu bingung karena dua hal. Pertama: semua putri — dari 35 putra-putri Sri Susuhunan Pakubuwono XII — bernama depan Koes. Kedua: sebutan Mbak Koes tak dikenal di keraton, yang ada itu gusti lalu disusul nama panggilan.

Memang selalu ada pengecualian. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dulu nyaman saja disebut Bung Sultan oleh kaum republiken seangkatan. Karni Ilyas, dalam kolom obituarium untuk HB IX di Tempo abad lalu, mengenang dalam jumpa pers KONI dia pernah menyebut sang ketua sebagai Pak Sultan. Hadirin kaget, kurang sreg. Namun Pak Sultan biasa saja.

Oh, panggilan. Apa yang lazim di tempat lain bisa bermakna khusus di tempat tertentu. Misalnya sebutan mami: di tempat hiburan pria berarti koordinator penghibur. Maka ada Mami Leni dan Mami Joyce — nama dinas, bukan nama di rumah.

Saya sering menyebut pemilik warung padang sebagai uda dan ini. Pernah sih lebih dari sekali salah alamat. Ternyata secara internal mereka, juga dengan anak buah, berbicara dalam logat ngapak Banyumasan.

¬ Ilustrasi dasar dihasilkan oleh AI

6 Comments

Dedi Dwitagama Sabtu 9 Desember 2023 ~ 07.13 Reply

Wah ada nama saya, suwuuuun Pakde

Pemilik Blog Sabtu 9 Desember 2023 ~ 09.05 Reply

Sami-sami, Pak Guru.
BTW jarang orang panggil saya pakde. Dari sekian keponakan hanya satu yang panggil pakde 😂

junianto Jumat 8 Desember 2023 ~ 23.33 Reply

Orang-orang di Solo memanggil kakaknya Mas Kaesang dengan sebutan Mas Wali.

Pemilik Blog Sabtu 9 Desember 2023 ~ 02.02 Reply

Jokowi menyebut Nadiem Makarim Mas Menteri. Ganjar Pranowo semasa jadi gubernur men-branding diri Mas Ganjar.
Anwar Usman nggak pernah mek-branding diri Paman Usman maupun Paman Us Us.

Bukan hasil branding tapi Kenneth, anak kecil, menyebut Prabowo itu “Oppung Wowo”.

Tinggalkan Balasan