Tadi, saat melintasi gang di sebelah Kantor Kecamatan Pondokmelati, saya membaca grafiti Persija. Maka saya pun teringat satu hal. Dulu saya heran setiap kali melihat Metromini di bundaran Kecapi, Jatiwarna, yang berjejal penumpang, dengan beraneka atribut Persija, siap bertolak ke GBK, Senayan, Jakarta.
Saya dulu membatin, “Lho itu kan anak-anak Pondokmelati dan Jatiasih, kenapa ngefans Persija?” Pondokmelati dan Jatiasih adalah kecamatan di Kobek, Jabar.
Akhirnya saya mentertawakan diri sendiri. Orang Kobek tak harus memuja perserikatan dan klub sepak bola di wilayahnya. Lagi pula kalau dalam laga nasional tim sepak bola dari wilayahnya tak terangkut, masa tak boleh menonton tim favorit, dari mana pun basis tim itu.
Harap maklum saya tak paham sepak bola. Namun akhirnya saya paham domisili dan status kewargaan wilayah administratif adalah satu hal, dan kesukaan terhadap perserikatan tertentu adalah hal lain, menyangkut kemerdekaan. Penggemar Persebaya tak harus warga aglomerasi Surabaya Raya, begitu pun penggemar Persib tak harus warga Kota Bandung, yang kabupaten sekitar tidak.
Dalam skala lebih luas adalah Piala Dunia. Orang Indonesia boleh menjagokan Jerman, Prancis, Belanda, dan lainnya. Bukan gara-gara tak ada tim Indonesia di sana lantas orang Indonesia tak menonton laga akbar kelas mondial tersebut.