Aku membalik lembar kalender, dari November ke Desember, dan teringat gerutu seseorang: kenapa manusia menciptakan kalender, akibatnya hidup kita dijajah oleh perjalanan waktu.
Penanggalan, apalagi setelah manusia mengenal aksara, adalah titik penting dalam peradaban. Apa yang terlihat, terasakan, sebagai suatu pola, akhirnya menjadi patokan bersama. Kapan hujan, kapan kemarau, kapan bulan purnama, kapan binatang buruan kawin, dan kapan buah di hutan siap petik, menjadi pengetahuan bersama bahkan sebelum suatu masyarakat mengenal aksara berupa huruf dan angka.
Manusia selalu punya kesadaran akan ruang dan waktu. Mengenal kemarin, hari ini, dan esok, kemudian mengenal perencanaan: besok tak hujan, sarang lebah di hutan sudah penuh madu, karena tiga bulan lalu belum menggembung, maka esok hari adalah saat menuai.
Dalam kesadaran ruang dan waktu, setiap masyarakat, sesuai tahap perkembangannya, mengenal pangkal masa lampau, berupa mitologi awal mula mereka sebagai manusia (genesis, purwaning dumadi) dan bahkan ujung sang kala, yakni kehidupan setelah zaman berakhir. Ada tafsir kosmologis dan eskatologis.
Lima ribu tahun lalu, masyarakat Mesir Kuno mengenal kalender berdasarkan rembulan. Pada 3500 SM, bangsa Sumeria mengenal satuan jam dalam durasi sehari. Siang berlangsung 12 jam, demikian pula malam. Satu hari 24 jam. Satu jam adalah 60 menit. Dan satu menit itu 60 detik. Prinsip itu dimodelkan dalam lingkaran 360°, dengan bilangan berbasis 60 (seksagesimal).
Catatan waktu. Itu bekal manusia menjalani kehidupan. Apakah itu berarti kita dijajah waktu? Kartun klasik sering menampilkan ruang terungku dengan diagram biting (tally) pada dinding, coretan penghuni yang menghitung hari sampai wajahnya rimbun berewokan.
Aku tak dapat membayangkan bagaimana seorang serdadu Jepang dari PD II yang tertinggal di hutan likuran tahun menghitung hari. Kasus itu ada di beberapa tempat. Salah satunya Nakamura, orang Taiwan, yang ditemukan di Pulau Morotai (1975).
Hari ini, tanggal 1, lembar kalender yang menampakkan wajah adalah lembar terakhir. Lalu aku merenung, apa yang aku lakukan dan hasilkan selama 2023?
Padahal saat tahun berganti, meninggalkan 2022, aku berharap tahun ini membawa perbaikan. Saat memasuki 2022 juga demikian, selain berharap pandemi segera menjadi endemi juga ada asa tahun itu lebih baik daripada 2021.
Jangan-jangan gerutu tadi benar, soal keterjajahan oleh waktu. Padahal dari Desember ke Januari itu sama durasinya dari Juli ke Agustus. Perjalanan waktu bisa menjadi masalah ketika kita menerapkan makna.
Salahkah itu? Ehm, kita punya kesadaran akan waktu. Namun kita seolah-olah mengabaikan bahwa saban hari kita bertambah tua. Bahkan setiap detik, karena durasi di bawah itu sangat matematis, belum selesai terucapkan pun perjalanan waktu sudah mendahului.
One Comment