Kritik sosial band ngliga oté-oté

Apa saja album musik jadul Indonesia yang berkoverkan personel band bertelanjang dada? Menarik untuk disigi.

▒ Lama baca < 1 menit

Band Wow!: Kritik sosial band ngliga oté-oté

Judul pos ini mungkin bikin Anda bingung. Dalam KBBI, ote-ote berarti bakwan. Hampir semua situs warta juga mengartikan itu, disertai foto bakwan. Namun dalam percakapan sebagian orang Jawa, oté-oté berarti bertelanjang dada. Anehnya dalam Bausastra W.J.S. Poerwadarminta hanya ada kata ngliga.

Lalu? Kita tinggalkan soal bahasa. Saya membahas fesyen dan musik. Di Spotify sudah lama ada band Wow!. Itu band abad lalu. Sampul album Produk Hijau (1983) menampilkan Fariz R.M., Iwan Madjid, dan Darwin B. Rachman topless.

Saya mencoba mengingat band lawas apa saja, yang sejauh saya lihat, yang kover albumnya bertelanjang dada. Tak berhasil. Kalau foto berpose ngliga, di majalah Aktuil maupun Top seingat saya ada. Demikian pula saat berpentas. Pada generasi berikutnya, Ariel Peterpan sebelum Noah juga buka kaus, begitu pun Kaka Slank.

Ngliga adalah solusi negeri tropis saat kegerahan. Hanya pria yang bebas melakukannya. Saya termasuk. Anak kecil lebih bebas lagi, saya pernah memotret bocah oté-oté masuk Alfamart. Busana pengantin Jawa juga ada yang bertelanjang dada. Saya dulu di pelaminan begitu, padahal sebagian tamu berjas.

Lalu soal musik Wow! bagaimana? Rada beda dari umumnya band saat itu. Menarik. “Armageddon” berbau rock progresif, kibornya mengingatkan pendengar pada Tony Banks Genesis. Namun saya tak cocok dengan vokal Iwan. Bukan jelek sih, nyatanya tidak sumbang — di Abbhama, band 1970-an, juga begitu (¬ Progarchives, Wikipedia). Saat menulis ini saya memutar Louis Armstrong, suaranya berat dan parau tapi enak dan pas.

Dari sisi lirik, ada lagu yang bergaya, katakanlah, kritik sosial, misalnya “Pekik Merdeka” dengan bumbu fusion, tentang warga desa miskin setelah menonton layar tancap tujuh belasan berisi film perjuangan kemerdekaan. Mereka bersemangat melihat perjuangan melawan penjajah tetapi tak berdaya mengatasi nasib. Hanya sebatas itu, sinisme tipis, aman dalam konteks Orde Baru. Isu menggerakkan perlawanan petani penggarap bisa dicap Marxian.

Namun ketika usai mereka terjaga
Memadati dirinya di tanah lapang luas
Tempat berlangsung pesta saudagar ternama
Pemilik kebun cengkeh di desa kecil itu

Keheningan mencekam
Tinggallah tebar layar
Tegak terpancang membisu

Bagai memendam kesan
Gulana dalam desa
Laksana kodrat alami

Kritik sosial, yang definisinya bisa memancing perdebatan, dalam musik adalah kajian tiada bersudah. Untuk Iwan Fals, itu jelas, merupakan contoh kuat. Koes Plus pun melakukannya pada 1973: “Kolam Susu” (Volume 8).

Banyakkah kandungan kritik sosial dalam band berlatar kelas menengah pada masa lalu? Para pengamat musik Indonesia lebih paham petanya. Saya tidak.

2 Comments

junianto Kamis 30 November 2023 ~ 20.30 Reply

Lagu Pak Tua dari Elpamas termasuk, ya, Paman? Eh, ciptaan Iwan Fals juga.

Pemilik Blog Jumat 1 Desember 2023 ~ 10.08 Reply

😇 God Bless album pertama, Cermin, juga ada kritik sosial.
Dulu lagu D’Lloyd “Hidup di Bui” dilarang.

Tinggalkan Balasan