Saya pernah menulis tentang daun janda bolong dengan keheranan, mengapa penamaan vegetasi dapat disimpulkan mengarah kepada pelecehan. Untunglah, Hedi Novianto memberikan pencerahan dalam komentar: itu bermula dari bahasa Jawa, ron dho bolong.
Jika ditulis dalam bahasa Jawa baku, dengan kata tersebutkan lengkap, menjadi ron padha bolong. Artinya daun (yang) pada berlubang. Kata padha, karena sering disingkat menjadi dha (baca: dho), mengakibatkan sebutan itu berbunyi rondo bolong (tulisan baku: randha bolong). Kalau diindonesiakan secara ngawur menjadi janda bolong.
Tadi pagi di sebuah gang saya melihat daun berlubang di atas jalan beton. Ada juga daun serupa namun lubangnya tak merata. Selain daun bolong tampak pula dua tiga jambu air yang sudah pèndèng tergilas ban motor dan mobil. Maka saya menduga daun itu adalah daun jambu air alias jambu wèr.
Saya juga menduga daun itu berlubang karena dimakan ulat. Lalu saya pun mencari info. Menurut laman DGW Fertilizer, ulat itu adalah ulat kantong pagoda (Pagodiella hekmeyeri). Ulat yang mengganggu produktivitas pohon itu juga doyan daun lain, misalnya mangga, alpukat, kakao, rambutan, matoa, dan lengkeng.
Nah, dari memungut daun selagi jalan kaki saya beroleh pengetahuan baru. Bahwa bagi orang lain itu bukan hal baru ya biar sajalah.