Kerikil itu butiran batu yang lebih besar daripada pasir namun lebih kecil dari kerakal. Ukuran kerikil, menurut KBBI, “kira-kira sebesar biji kacang tanah atau biji nangka”. Artinya, kerakal lebih besar ketimbang kerikil. Maka ada ungkapan kerikil dalam sepatu. Kalau kerakal dalam sepatu, kaki gajah dewasa pun mungkin risi.
Ingatan soal kebahasaan itu menghinggapi benak saat saya masuk ke warung gado-gado. Ubin keramiknya bermotif tebaran batu kecil.
Kemajuan teknologi keramik memungkinkan penerapan foto, berupa batu sampai kayu. Garis nat atau sambungan ubin, dan pola dekorasi yang konsisten, segera menyadarkan mata sebelum kali menginjak ubin: itu cuma gambar.
Hal lain yang menyadarkan mata adalah kedalaman. Mata stereoskopis segera tahu bahwa permukaan dengan kontur rata itu adalah rupa dwimatra atau dua dimensi. Entahlah kalau ubinnya berisi tonjolan kerakal dengan pola tak konsisten, sehingga tidak seamless dan merepotkan pemasangan, mungkin sepersekian detik mata manusia akan terkecoh.
Lalu mengapa orang memasang ubin seolah kerakal? Manusia butuh ilusi terhadap suasana alami, dengan bahan yang awet dan semoga murah. Serupa orang memasang papan dinding bermotif kayu dari conwood plank sampai PVC bahkan wallpaper bermotif anyaman bambu.