Dalam laporan bertajuk “Anak Penyandang Disabilitas Tertolak dan Terabaikan” ada saja kisah yang menyentuh. Misalnya keterangan Ketua YPAC Nasional Ratna Djuita, “YPAC bukan panti asuhan. Sekarang kami sudah menutup sebagian besar panti. Sebab, anak diserahkan, orangtuanya menghilang. Sampai seumur hidup anak di panti. Seperti di YPAC Jakarta, sudah 30-40 tahun tidak ada yang menjenguk.” (¬ Kompas.id)
Untuk pendidikan anak disabilitas, selain sekolah luar biasa (SLB) milik pemerintah, ada sejumlah yayasan yang melaksanakan pendidikan. Misalnya Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC), yang memiliki 17 cabang di daerah. Layanan pendidikan YPAC mulai dari SLB TK hingga SMA.
Dante Rigmalia, Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND), mengatakan orangtua sering menolak ketika anak didiagnosis disabilitas karena memalukan.
“Selalu ditanya kenapa, ya, anak bisa disabilitas? Apa yang kamu lakukan sehingga kamu melahirkan anak seperti itu, suami kamu seperti apa, hal-hal seperti itu yang masih sering kali terjadi,” ujar Dante.
Dante menyatakan, “Stigma anak penyandang disabilitas masih sangat kuat. Itu dibuktikan dengan beberapa kejadian yang viral ada anak penyandang disabilitas ditolak dan diperlakukan semena-mena.”
Menurut Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar, anak disabilitas berhak mendapatkan perlakuan yang setara, bebas dari diskriminasi dan kekerasan.
“Jadi, di rumah, di sekolah, di masyarakat seharusnya tidak ada lagi praktik penolakan atas kehadiran anak disabilitas,” ucap Nahar.
Mei lalu Kompas.id melaporkan, penyandang disabilitas rentan menjadi korban kekerasan seksual. Tercontohkan, seorang remaja perempuan di Jakbar, berusia 15, dengan disabilitas intelektual, diculik tiga pria lalu diperkosa.
“Dari hasil pemeriksaan, ketiga pelaku menculik korban untuk dijadikan budak kepuasan seksual,” ujar Kasatserse Kriminal Umum Polres Metro Jakbar Komisaris Andri Kurniawan.
¬ Infografik: Kompas.id