“Tante, pasti di ruang kerja Anwar Usman penuh buket berisi simpati dan dukungan ya,” kata Jeng Kantil Mekarsari saat mengantarkan bakso tahu bersama suaminya, Mas Totok Gondorukem, sore tadi.
Kamsi menanggapi, “Mestinya sih. Tapi mungkin nggak, karena bunga kan termasuk gratifikasi. Mungkin AU nolak. Gimana Mas?”
“Setahuku bunga termasuk gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan. Tapi nggak tau kalo buat hakim MK,” jawab Kamso karena ditanya istri.
“Lha siapa yang ngirim bunga?” Totok nimbrung.
“Ya orang partai, ormas, relawan, atau perorangan yang ndukung putusan MK soal syarat capres cawapres,” kata Kantil.
“Lha iyalah, udah dibantu, diuntungkan, mosok nggak kasih ucapan tengyu dan simpati buat AU yang udah ambil risiko meski cuma jabatannya yang dicopot,” Kamsi menimpali.
“Sepanjang dalam koridor kepatutan pejabat publik, pasti banyak yang ngirim bunga,” Totok menyusulkan opini.
“Menurut Oom Kam gimana?” tanya Kantil.
“AU pasti akan nolak buket, dia nyuruh sekretaris ngeluarin itu semua dari ruangannya. Bahkan mungkin malah dia suruh kembaliin,” jawab Kamso.
“Kok bisa?” sergah Kamsi.
“AU memutus perkara berdasarkan keyakinan dirinya, ilmunya, apalagi jabatan adalah milik Tuhan, dia nggak peduli siapa diuntungkan sapa dirugikan karena putusan MK. Nerima bunga sama aja mengiakan fitnah bahwa dirinya bisa diatur oleh siapa pun.”
Aneh. Kamsi, Kantil, dan Totok terbahak-bahak.
Kamso merengut. Dia tersinggung, “Tadi kalian nanya aku, lah aku jawab serius malah kalian ketawain.”
Ketika orang-orang itu kembali terbahak-bahak.
¬ Gambar praolah: Unsplash