Baliho Kaesang Pangarep sebagai Ketum PSI bertebaran di Subang, Jabar. Lalu warganet tak hanya menyoal biaya tetapi pajak reklame. Soal pajak, jawabannya jelas: peraga promosional kegiatan politik dikecualikan dari pajak reklame (¬ Pasal 60 ayat 3 huruf e UU No. 1 Tahun 2022).
Lalu kenapa baliho atau apapun namanya, pokoknya bergambar Kaesang PSI, jadi masalah? Soal konteks. Ada faktor sentimen negatif masyarakat.
Saya mencoba berjarak, kira-kira begini tilikan saya:
- Sebelum Kaesang secara instan menjadi Ketum PSI, peraga kampanye politik sudah lumrah di kota, kabupaten, ibu kota provinsi, sampai ibu kota negara
- Jalur kilat Kaesang memimpin partai ditanggapi sinis oleh sebagian masyarakat, terutama di luar PSI maupun di luar pengurus partai lain yang sedang membutuhkan dan atau dibutuhkan PSI
- Kaesang laku secara politis karena dia putra Presiden Jokowi, dia bukan sekadar anak muda yang populer — tak seperti bapaknya saat belia, tak tenar dan bukan anak tokoh
- Saat yang sama, naiknya Kaesang, lalu kedekatan PSI dengan Prabowo Subianto yang dulu sering dinilai jelek oleh partai itu, beriringan dengan proses Gibran Rakabuming menuju jalan cawapres bagi Prabowo melalui Mahkamah Konstitusi
- Maka citra anak-anak Jokowi, bahkan Jokowi sendiri, pun buram di mata kaum yang selama ini puas terhadap capaian sang presiden
Singkat kata: sudah nasib Kaesang, pun Gibran, bahkan bapak mereka, menjadi tumpuan kesalahan. Menyoal pajak reklame baliho adalah salah satu contoh.
https://twitter.com/bianca01403/status/1720989745193640162?t=04cKHcNYlDl2aExWTihRyA&s=19
Lalu soal baliho, atau apapun namanya termasuk bilbor berupa videotron, adalah masalah kepastian hukum. Setahu saya itu diatur di setiap perda. Berlaku untuk peraga komunikasi yang menjadi objek pajak maupun yang terkecualikan.
Hal yang diatur oleh setiap perda antara lain:
- Titik lokasi penempatan peraga, siapa pun pemilik media luar ruang
- Ukuran dan kelayakan konstruksi teknis peraga
- Masa berlaku pemampangan peraga sesuai izin
- Matriks tarif pajak reklame
Adapun kesusilaan, isu SARA, dan keindahan lanskap biasanya menjadi syarat penyerta. Atau diatur dalam produk hukum yang lain.
Maka pencopotan baliho Ganjar-Mahfud oleh Pemkab Gianyar, Bali, saat kunjungan Jokowi pekan lalu, atas nama ketertiban dan keindahan, mestinya sudah jelas sebelum materi yang disebut alat peraga sosialisasi (APS) pemilu itu terpasang. Dengan atau tanpa kedatangan presiden, setiap peraga yang melanggar perda harus dicopot.
Lalu? Mari mundur dulu, ke tahun 2020 ketika Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman memerintahkan pembongkaran banyak baliho FPI bergambar Rizieq Shihab, dengan dalih mendukung Satpol PP DKI — artinya aparat sipil — yang kewalahan.
Lagi-lagi ini soal kepastian hukum. Juga: supremasi sipil. Tanpa penegakan hukum, media luar ruang bisa menjadi media liar ruang. Tak beda dari grafiti dan mural atau produk urban art lainnya yang tidak diinisiasi oleh penerintah dengan tema sesuai penaja alias bohir.
Kalau Pemprov DKI tegas, tak hanya terhadap bilbor komersial, mestinya beraneka baliho bertiang bambu maupun besi dari pendukung FPI, yang dipasang di ruang publik tanpa izin, itu sejak awal dibongkar oleh Satpol PP.
Tetapi, ya tetapi, itu kan masalah politik, FPI versus negara, bukan soal penegakan perda atau pergub atau apalah? Ehm, baiklah.
Maka kita tunggu apakah semua pemda akan menegakkan aturan terhadap para caleg dan pasangan capres. Atau, jangan pilih paslonpres mana pun yang timnya mengabaikan aturan soal peraga — atau hal lain yang dilarang hukum.
¬ Gambar praolah: Freepik, Unsplash