Bingkai berkaca yang berdebu, di atas rak berdebu kemarau kering, itu malah menggoda saya untuk memotretnya. Padahal saban hari saya melihatnya. Selama tiga puluh satu tahun. Saya membelinya di sebuah negeri.
Begitulah. Rutinitas bisa menumpulkan kepekaan kita, bahkan kesadaran kita. Maka saya pun akhirnya sampai kepada pertanyaan untuk diri sendiri: buat apa saya memasang hiasan kalau akhirnya cenderung tak pedulikan?
Saya termasuk pembosan. Tetapi saya bukan bujangan. Lalu apa hubungannya? Jika menyangkut hiasan itu juga berarti suara orang lain di rumah, bisa istri bisa anak, ketika saya akan mengenyahkannya. Tetapi untuk kupu-kupu awetan ini saya belum jemu. Kondisi masih lumayan, belum rusak.
Secara iseng saya memanfaatkan AI, melalui Google Lens, untuk mengidentifikasi kupu-kupu ini. Teks di bawah kupu tak saya pindai. Jawaban Google Lens: ini Chrysiridia rhipheus, atau Madagascan sunset moth (¬ Wikipedia).
Binatang bersayap yang semula menjadi ulat ini ternyata disebut ngengat matahari. Lalu ini kupu-kupu atau ngengat? Ternyata dalam ordo Lepidoptera ada kupu-kupu dan ngengat. Dan makhluk yang sudah kering ini termasuk ngengat yang eksotis. Maka sebelum mereka memasuki tahap metamorfosis berikutnya, manusia menangkapnya untuk hiasan.
Kerajaan kupu-kupu di Indonesia yang tersohor di Bantimurung, Maros, Sulsel. Saat SD saya menangkapi kupu-kupu karena tugas sekolah, untuk diawetkan dan dipajang dalam kotak kaca. Hanya kotak pajang, karena kalau insektari harus justru harus mempertahankan serangga hidup, dan dirawat, untuk diamati.
Saya belum mencari info, di Indonesia dan dunia ini kupu-kupu apa saja yang tak boleh ditangkapi untuk hal di luar penelitian dan pendidikan. Mungkin Anda tahu?