Pengalaman itu tak saya lupakan. Dalam gerimis saya membantu seorang pemuda memunguti beras yang tercecer karena belanjaannya tumpah setelah sepedanya terguling di jalan depan rumah saya.
Saya lupa beras itu diwadahi apa, tetapi saat itu belum lumrah kantong plastik. Saya ingat pemuda berpeci itu juga berbelanja bunga dari kertas semen yang dicat merah ditimpa garis cat perak, hiasan lumrah bagi orang desa saat Lebaran. Dia berbelanja sehari atau dua hari sebelum Idulfitri.
Umur saya saat itu lima enam tahun. Saya belum mampu berpikir kenapa orang desa yang dikelingi sawah, di sekitar Sraten, Kabupaten Semarang, harus membeli beras ke Pasar Salatiga, Jateng. Padahal pemasok beras untuk keluarga saya datang dari sekitar Rawa Pening, mengantarkan beras bengawan.
Lamunan tentang beras tercecer itu langsung menggenangi benak tadi, saat saya memunguti butiran beras yang tercecer setelah tumpah dari wadah besar untuk saya tuangkan ke wadah kecil beras.
Ada rasa ngéman membiarkan beras terbuang padahal nanti pasti dicuci. Setelah menjadi nasi, beras tercecer itu akan lebih dari satu sendok apalagi pulukan. Lagi pula beras tak jatuh di atas tanah, hanya menebar sempit di atas meja dapur dan lantai. Misalnya ada tamu pun saya tetap akan melakukannya.
Untuk menjadi nasi di atas piring, beras tidak tiba-tiba mengisi periuk penanak listrik. Ada perjalanan panjang, berbulan-bulan, dengan kaki petani amblas ke lumpur sawah saat menanam, bahkan sebelumnya ketika mereka menyiapkan lahan menebar benih.
Saya teringat seorang kawan yang prihatin karena cucunya, masih kelas tiga SD, tak tahu dari mana nasi berasal, dan mudah sekali menyisakan nasi dan lauk setiap kali makan.
Kawan itu prihatin, jauh melampaui keheranan saya setiap kali mendapati orang menyisakan nasi dan lauk dalam prasmanan dan kedai all-you-can-eat. Lapar mata dan kapasitas waduk tak bersesuai.
Saat memunguti beras saya teringat sejumlah foto jurnalistik tentang orang menyapu butiran beras di pasar, setelah terkumpul akan dijual untuk pembeli beras murah, sebagian lainnya untuk dia jadikan nasi di rumah. Arsip yang saya temukan adalah dari esei foto Detik. Hormat saya untuk sang fotografer. Media berita tak harus senantiasa bersetia memetik konten media sosial demi trafik.
2 Comments
Saya sepakat dengan kalimat terakhir dalam alinea terakhir.
Saya dahulu juga termasuk orang yang sering menyisakan (banyak) lauk dan nasi dalam prasmanan. Belakangan sudah tidak lagi. Mengambil secukupnya, tidak kemaruk, kalau ternyata belum kenyang ya ambil lagi.
Betoool. Ambil yang kita sanggup menghabiskan. Kalau mau nambah kan nanti.
Hal sama berlaku untuk air putih. Bahkan di rumah sendiri.