Di sebelah penatu atau laundry kiloan di tepi jalan ramai ini ada gang sempit, motor harus berhati-hati jika berserobok. Namun dalam gang kecil itu juga ada penatu. Selain cuci juga melayani hanya penyetrikaan, Rp3.500 per kilogram — padahal di kampung lain Rp6.000.
Penatu kiloan kian lumrah. Ada di setiap kampung. Tetapi penatu sebagai jasa sudah ada sejak lama, sehingga kata penatu menjadi arkais, penyebutan istilah itu mengundang kerut kening. Umumnya orang lebih tahu kata binatu padahal tak baku.
Pernah saya baca di Intisari, di Kali Ciliwung yang memisahkan Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk, Jakarta, pada zaman kolonial ada penatu oleh emak-emak kampung yang mencuci di kali. Dari saku pakaian yang mereka cuci acap terselip koin gulden.
Seingat saya penatu kiloan di Jakarta muncul awal 2000-an. Itu solusi bagi anak kos, mahasiswa maupun karyawan, yang induk semangnya tak menambahkan opsi cuci pakaian. Dulu ketika mulai kerja di Jakarta, saya tiga kali berpindah pondokan yang ada layanan cuci di dalam dengan segala eksesnya, kalau soal kelunturan sih biasa.
Pernah kaus saya yang tak kembali ternyata dipakai anak kamar lain. Saya sudah merelakan saat kaus itu tak kembali setelah dicuci. Tetapi saya tak peduli kalau CD saya tak kembali, yang pasti saya tak pernah memanfaatkan aset orang lain. Paling menyebalkan adalah jika garis lipat pantalon khaki dan drill gelap melenceng, apalagi sampai paralel, karena setrika. Sumber masalah: saat itu belum ada penatu kiloan.
Awal 2000-an seorang pemimpin redaksi marah karena seorang reporter telat rapat tanpa mengabari. Ketika ditanya, dia menjawab, “Maaf, saya nyuci, Mas. Tanggung, tinggal dikit kalo saya tinggal.”
Padahal redpel di media tersebut selalu tertib mengatur waktu. Sekali sepekan dia punya laundry day. Namun si telat rapat hingga hari ini belum membuka laundry kiloan. Kalau salah satu sejawat si telat sih dulu indekos di rumah yang menyediakan mesin cuci untuk bersama.
Awal masuk Jakarta pula saya terkesan satu hal: banyak agen laundry tanpa kiloan. Agennya bisa di supermarket, salon, dan rumah tinggal. Pantalon halus, jaket lembut, jas, dan blazer cocok diserahkan ke sana, terutama untuk dry clean.
Penatu bukan kiloan, tetapi tanpa agen, saya akrabi sejak kecil di Salatiga, Jateng. Tugas saya adalah bersepeda membawa dan menjemput pantalon dan jaket bapak saya ke dan dari chemische wasserij. Ketika saya kuliah di Yogyakarta, dan mencuci sendiri, jin dan celana kargo sepulang dari lapangan, yang saya malas mencuci sendiri, diterima dengan bersungut-sungut oleh tukang penatu. Teman saya menyebut penatu adalah kebutuhan kaum borjuis.
Beruntung, tujuh belas tahun saya bekerja di sebuah perusahaan penerbitan di Ibu Kota yang memfasilitasi pos pengeluaran saat karyawan berdinas luar kota maupun luar negeri, salah satunya laundry di hotel. Ini persoalan praktis, bukan borjuis.
Kini, satu hal yang belum jelas bagi saya adalah faktor pendukung munculnya penatu kiloan. Apakah mulai tahun 2000, selepas krisis moneter, harga mesin cuci tabung tunggal, bukaan depan maupun atas, kian terjangkau, apalagi dibantu kredit?
Juga soal ini: apakah karena penambahan daya listrik PLN kian mudah, terutama setelah ada listrik prabayar sekitar 2009? Konsumsi listrik mesin cuci satu tabung bukaan atas, berkapsitas 7—9 kilogram, sekitar 300 Watt. Sedangkan bukaan depan dengan kapasitas sama bisa sampai 600 Watt.
Itu tadi baru satu mesin cuci merangkap pemeras. Untuk mesin pengering bisa 2.000 Watt lebih, apalagi untuk merek dari Eropa.
Saya antara lupa dan ingat, tampaknya Kontan pernah membuat simulasi modal membuka laundry kiloan saat bisnis ini mulai menggeliat. Sayang arsipnya belum saya dapatkan.
Bisnis penatu oleh orang Indonesia yang menarik perhatian saya justru dalam berita pembunuhan, 1990-an. Itu lho kasus Oki Hernoko Dewantoro (¬ lihat Detik X, 2022). Peristiwanya terjadi di Los Angeles, California, AS. Korbannya cewek Indonesia. Si Oki adalah pengusaha penatu swalayan. Saat itu saya membayangkan kapan ada penatu swalayan di Indonesia.
Kini penatu kiloan kian murah. Ibu saya di Yogyakarta memanfaatkan itu. Saya sekeluarga saat mudik juga memanfaatkan itu karena kiosnya di seberang rumah.
Lalu bagaimana dengan penatu kiloan di perkampungan padat dengan labirin sempit, siapa pelanggannya?
Saya mencari tahu, dan salah satu jawaban dari pemain adalah, “Ya orang sekitar.”
Saya menduga, mereka yang rumahnya kecil, semacam rumah deret kontrakan, apalagi suami istri bekerja, tak ada waktu untuk cuci-jemur-setrika pakaian luar.
Seorang pelanggan penatu kiloan mengatakan kepada saya, “Nggak ada waktu buat nyuci, tempat jemuran sempit, nggak dapet matahari, padahal saya dan istri berangkat pagi pulang malam.”
Cerita yang jauh dari citra borjuis.
2 Comments
Reporter ndembik itu sekarang di mana, ya, Paman?😁
Tentang laundry kiloan, di lingkungan saya juga banyak. Dari banyak itu hanya satu yang juga melayani laundry bijian (per biji Rp 5.000/dulu Rp 4.000) langganan istri saya.
Dia belum buka laundry.
Kalo Kanjeng Mio Wong punya jadwal laundry day.