Sepeda motor kurir itu cukup dimiringkan ke kiri, menempel pada tembok, sehingga kardus tinggi besar berisi freezer itu ada yang yang menahan. Mas Kurir tetap duduk di atas jok, dalam temaram dia membuka peta di ponsel.
Mencari alamat di jalan besar saja sulit, karena nomor rumah tak urut, apalagi dalam kampung padat berisi gang demi gang yang menyerupai labirin, pada malam hari pula.
Saya cek di Google Maps, labirin di sana memang tampak dalam peta, tanpa nama, namun dalam Street View hanya ada mulut gang. Berarti petugas Google yang menggendong kamera dengan berjalan kaki itu belum menelusuri labirin di sana.
Meskipun demikian, lebih dari sekali saya bersua kurir paket di sana. Saya menduga, sang kurir dari perusahaan logistik seperti Pak Pos zaman dulu: hafal jalan di wilayah operasinya. Sedangkan kurir toko dan tukang ojek daring sering kerepotan mencari alamat di kawasan yang tak dia kenal.
Saya tak tahu apakah sekarang setelah tua bisa mencari alamat. Saat menjadi orang lapangan di kala belia sih sering bisa, karena tidak malu bertanya dan intuisi masih bagus. Padahal tanpa Google Maps.
Pernah sih intuisi saya dan keterangan warga tidak klop. Padahal saya yakin itu alamat yang saya cari, di sebuah perkampungan padat dan keras di Jakut. Tetapi warga mengatakan tak ada nama orang dan alamat lengkap yang saya sebutkan.
Terbukti saya benar. Saya bersua penghuni, sepasang lansia. Anak mereka adalah pengedar ganja yang ditangkap polisi karena menjual barang di lapangan tenis kantor wali kota. Saya beroleh alamat dari polisi.