Kita bisa terganggu apabila orang lain berbicara terlalu keras namun dalam situasi tak tepat. Kalau capres berpidato kampanye dan pelapak di pasar berteriak sih normal. Saya dan seorang teman pernah berlaku lajak, hanya berdua dalam ruang tertutup tetapi volume obrolan kami kencang, penuh tawa, sehingga orang di ruang lain terganggu.
Lalu pintu dibuka, tiga kepala melongok ke dalam, salah satu bertanya, “Kalian ini ngerembuk apa, kok rame banget?”
Kami malu karena rem blong. Padahal kami bukan jenis peneriak tanpa alasan. Lebih malu lagi ketika lain waktu si penegur tadi mendapati kami makan berdua, berhadapan, di meja kecil, dan berkomentar, “Lha ndèkna yèn dipakani padha anteng.”
Kita cenderung mudah terganggu oleh suara orang lain, namun kadang lupa bahwa suara kita bisa mengganggu orang lain. Misalnya saat menerima telepon padahal kita sedang meriung. Bukannya menyingkir, kita tetap duduk dan terus berbicara tanpa memelankan suara. Begitu pun saat kita semobil dengan orang lain. Atau saat menjadi penumpang bus dan kereta.
Saya pernah menoleh ke empat lima penonton film di belakang saya, karena dalam bioskop mereka terus mengontrol, bahkan saat adegan film tanpa suara keras.
Juga, pernah saya bilang “Stttt…” kepada seorang ibu yang terus mengoceh keras padahal konser new age Kitaro sedang berlangsung. Anak dan suaminya sudah kewalahan menegur si ibu dengan isyarat. Putra si ibu itu akhirnya pindah tempat duduk.
Barusan saya baca di Designboom, ada gawai untuk mengurung suara kita sehingga tak mengganggu orang lain. Bentuknya mirip berangus. Namanya Mutalk. Menarik juga.
Entahlah, kalau saya dan teman saya yang ngeselin tetapi ngangenin itu sama-sama mengenakan berangus apakah dapat saling mendengar. Oh, tampaknya kami memang tak pernah saling mendengar. Masing-masing hanya peduli suara sendiri.
¬ Gambar utama: Freepik
2 Comments
Saya pastikan teman Paman yang ngeselin tapi ngangenin itu sudah baca konten ini. Hanya, beliau ogah berkomentar.
Nggak tau juga saya