Terakhir saya ke warung gado-gado itu belum ada ayunan. Tadi saya ke sana, di depan warung ada bandulan, dengan tali dan papan, digantungkan pada pohon sawo. Maka pikiran saya pun mengembara.
Di rumah saya tak ada bandulan, yang berupa besi berkaki maupun yang tergantung pada dahan pohon. Maklum halaman saya sempit. Pun tiada pohon.
Padahal waktu kecil saya punya bandulan, kakak saya menggantungkannya pada dahan pohon lengkeng di kebun. Misalnya saya sekarang akan membuat bandulan pohon harus belajar tali-temali.
Bandulan pohon terkesan eksotis. Namun tak semua rumah punya. Tersebab tak ada pohon. Tetapi di kampung-kampung area saya pernah terlihat bandulan papan maupun ban bekas yang tergantung pada pohon.
Kini pepohonan berkurang, sudah berganti rumah. Bahkan di kampung sekitar pun rumah makin ngepas, tak menyisakan halaman, karena sudah diisi bangunan termasuk untuk kios.
Perihal bandulan ban mobil, yang dijual di lokapasar sudah dimodifikasi menyerupai keranjang. Lebih aman untuk buaian balita.
Lalu kembali ke bandulan eksotis, yakni tali berpapan dan ban bundar di bawah pohon, saya tak tahu seberapa sering bandulan di halaman rumah, bukan di taman, menjadi idiom visual Indonesia dalam foto maupun film televisi dan bioskop.
Carilah foto bandulan papan dan bandulan ban pada pohon. Banyak tersedia di internet, ada yang gratis dan ada yang berbayar. Berarti bandulan memang universal.
Dalam film Barat, terutama yang berlatar kota kecil, kadang ada bandulan papan dan ban, dan ada pula yang menjadi pelengkap pondok kayu model panggung maupun rumah pohon. Ada halaman dan pohon, dan rumahnya bukan berupa apartemen.
Bandulan papan maupun ban juga sesekali ada dalam klip video musik. Memang sih bandulan kayu dan ban dalam film kadang untuk adegan kilas balik.
Saya menduga bandulan pernah sangat mewarnai kehidupan di Indonesia sehingga CV Budi Djaya, Pekalongan, Jateng, menjadikannya sebagai jenama teh sejak 1933. Bukankah produsen teh ada yang mencomot benda, bahkan aktivitas keseharian, sebaga merek? Misalnya Botol, Poci, Dandan, Gardu, Tjatoet, Dua Tang, dan Nyapu.
Tentang bandulan di depan warung, saya menanya Mpok Ida, penjual gado-gado itu, siapakah yang membuat. Dia bilang, “Bapaknya, buat anak-anak.”
Ketika dari dalam warung saya melihat ke jalan, tampak seorang anak lewat. Dia dorong papan ayunan itu sehingga menjadi pendulum lalu dia tinggal pergi. Iseng amat. Artinya dia anak normal.
Saya bergegas keluar, menjepret bandulan yang masih berayun. Dalam foto jendela si anak tampak sedang mendorong papan ayunan namun gambarnya kurang tajam.
¬ Foto teh cap Bandulan: Blibli; ayunan dewasa dan anak-anak: Tokopedia
4 Comments
Di rumah orangtua saya dahulu, pun di dua rumah saya sekarang, tidak pernah ada gandulan (di lingkungan saya biasa menyebut gandulan, bukan bandulan).
Terakhir melihat gandulan pakai papan sebelum pandemi, saat dua cucu diajak ortu mereka ke sebuah taman bermain umum (tanpa biaya masuk) di dekat Pasar Legi Solo, dan saat itu saya menyusul mereka.
Seingat saya di sekolah dua cucu saya (TK dan SD swasta dalam satu kompleks) tiada gandulannya.
Iya, orang Jawa menyebut gandhulan.
Mas Nardi diajak bikin, Lik 😇
Wah Mas Sunar sudah resign, je. 😬
Wah blm ada MacGyver baru dong