Sore tadi sekira pukul empat saya melepaskan kacamata untuk memastikan bahwa udara sekitar rumah tidak bersih. Ada debu mengapung. Hidung dan tenggorokan tak nyaman. Seperti terjadi pada jalan tanah saat kemarau kerontang setelah dilintasi mobil. Makin ke sini makin parah sehingga saya selalu menutup pintu dan jendela karena kewalahan membersihkan debu dalam rumah.
Lantaran sumuk dan tak tahan, saya lebih awal menyirami tanaman. Begitu air memancar, langsung menguar aroma petrikor, bau tanah kering tersirat hujan.
Saya sadar, apa yang saya lakukan tak membuat debu enyah. Tetapi saya mencicil ilusi bahwa debu berkurang karena semburan nozzle pada ujung slang. Setidaknya debu pada dedaunan.
Bantuan utama bagi debu adalah angin kering. Butiran air yang menyembur dari tolèr menerpa wajah dan badan saya karena dorongan angin. Maka sekalian basah, saya menyemburkan air ke atap teras.
Karena kurang puas, saya pun menyemburkan air ke udara dan tentu jatuh lagi membasahi saya. Serasa kembali ke masa bocah.
Nah, lengkap sudah ilusi saya bahwa udara kemudian bersih. Padahal tidak. Itu hanya semburan kecil air yang saya setel sebagai shower. Bukan guyuran hujan deras dari langit. Nyatanya udara tetap kotor. Debu menempel pada teras yang basah tipis akibat tempias shower.
Tetapi bukankah kita kadang membutuhkan ilusi, bahkan menciptakannya, untuk menghibur diri?
4 Comments
Petrikor, kalau saya menyebutnya bau lemah ampo.
Tentang debu (tanpa deru) memang merepotkan dan bikin risi. Tiap hari, antara sore hingga maghrib, kadang setelah maghrib, saya sirami tanaman depan rumah sekaligus jalan depan rumah demi mengurangi debu.
Lemah ampo bukannya tanah lempung yang bisa dimakan itu? Saya belum pernah ngicipin sih.
Byuh debu kemarau saat ini terlalu banget deh dong sih
Iya betul tanah yang itu Baunya kayak tanah habis kehujanan di siang terik, deh.
😇