Melankolia kursi karatan dan lanturan dalam tuturan

Belum jelas siapakah yang lebih setia: kursi karatan ataukah aku. Tetapi tempat duduk bisa membunuh.

▒ Lama baca 2 menit

Kursi karatan setia Blogombal

Kursi teras yang bertahan tinggal satu. Dulunya sepasang. Lalu dua tahun silam yang satu aku buang karena bengkok kakinya, terutama pada sambungan las. Kedua kursi itu sama: sudah berkarat.

Kursi tinggal satu. Karatan pula. Tetapi masih nyaman aku duduki. Usianya sebelas dua belas tahun. Aku belum membuangnya. Dia masih aku butuhkan, meletakkan pantat dan menyadarkan punggung di teras. Di antara semua penghuni rumah, hanya aku yang paling sering di teras. Mungkin karena aku suka mengasap dengan tembakau bakar.

Aku juga kerap ngeblog dan mengolah gambar di teras. Bisa pagi, siang, malam, bahkan dini hari. Dengan menduduki kursi ini.

Oh, barusan aku sadar namun tak punya jawaban. Dulu kadang aku duduk di tangga teras, undakan rendah dengan satu kali pijakan naik. Aku tak tahu kenapa sudah sepuluh tahun lebih tak melakukan. Mungkin karena tak ada lagi anjing tekkel dan mini pinscher yang nakal, lucu, dan manja.

Hari-hariku bersama kursi karatan ini. Aku belum memensiunkannya karena belum mampu membeli yang baru. Tamu yang melihat mungkin tak tega melihat kursi ini. Tetapi bukankah aku tak pernah mempersilakan mereka duduk di sana, karena aku menyongsongkan kursi yang lain, bahkan kadang bangku tanpa sandaran punggung?

Tentang kursi ini, belum jelas siapakah yang sesungguhnya bersetia: aku ataukah dia?

Juga tentang kursi, lamunanku merambat liar. Sejak kapankah manusia membuat perabot untuk duduk, tak hanya memanfaatkan sediaan alam berupa batu dan tumbangan batang pohon? Mungkin setelah mereka keluar dari gua dan kemudian bivak lalu membangun rumah panggung: ada anak tangga yang bisa duduki sebagai tatakan pantat hasil buatan. Istilah rumah tangga mestinya bermula dari sana.

Kursi. Tempat duduk. Keduanya bisa menjadi perlambang kekuasaan. Maka ada istilah kedudukan. Pun ada sebutan penduduk untuk penghuni wilayah, menyangkut juga hak atas teritori secara de facto. Padahal secara legal belum tentu memiliki. Sebutan feodalisme berbasis pada penguasaan atas tanah oleh tuan yang kemudian menyewakannya. Feodum. Feudalis.

Feodalisme dan tahta menyangkut kursi. Termasuk tempat duduk dari batu, bahkan di dalam keraton, yang batunya dilapisi kulit macan.

Tempat duduk dari batu? Hmmm, terbayang cerita tentang Ki Ageng Mangir. Salah satu versi menyebutkan, dia tewas saat berlutut sembah bekti di depan Panembahan Senapati yang saat belia bernama Danang Sutawijaya.

Saat Mangir menunduk, Senapati yang merupakan ayah mertuanya itu membenturkan kepala sang menantu ke atas batu.

Hanya cerita. Bukan sejarah. Sudah diolah menjadi beberapa ragam pengisahan. Tempat duduk bisa untuk membunuh.

Terapi kursi karatan milikku tidak. Misalnya bisa pun tak perlu terjadi.

Ah, alangkah jauh lamunanku saat menduduki kursi karatan ini sambil menulis di ponsel. Semuanya mengalir begitu saja.

Tinggalkan Balasan