Social commerce: Isu keadilan dan siaran penjual

Tujuh catatan seputat medsos dan perdagangan B2C maupun C2C dalam platformnya. Hukum sering tertinggal?

▒ Lama baca 2 menit

Kontroversial berjualan di TikTok Shop Indonesia

Saya akhirnya bingung bagaimana menyikapi keluhan tentang persaingan dalam social commerce, atau perdagangan dalam pelantar media sosial. Sebelumnya saya enteng bilang, pelaku UMKM yang punya kios fisik juga ber-live streaming. Yang sedang ramai dibahas adalah TikTok Shop. Menurut CEO TikTok Shou Zi Chew dalam siaran pers Kemendag (Juni 2023), namun mengutip Bisnis Indonesia, lima juta pebisnis di Indonesia menggunakan TikTok, dua juta di antaranya UMKM di TikTok Shop.

Sejauh saya tangkap ada isu keadilan dalam kontroversi TikTok Shop, terutama perlakuan secara teknologis — tepatnya: robotik — terhadap penjual. Lalu soal perang harga, pemilik kios beneran yang menyewa ruang dan mengulak dengan harga biasa akan keok. Apalagi terhadap barang dari Cina yang lebih murah.

Merujuk Koran Tempo, yang mengutip Ketua Umum Asosiasi Industri dan UMKM Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorinny, gara-gara TikTok Shop banyak bisnis pelaku UMKM merosot, lebih dari 50 persen, terutama di pasar atau gerai konvensional.

Ada pula soal ini menurut Hermawati: “Penjual UMKM yang bukan siapa-siapa ini kalau live streaming berjualan, penontonnya sepi. Mereka kalah dengan artis atau influencer yang berjualan di TikTok Shop.”

Saya membatin ada sengkarut ruwet di balik TikTok Shop dalam disrupsi. Misalnya soal regulasi — pelantar jejaring sosial merangkap lokapasar — sampai bunga kredit UMKM beserta birokrasinya bila dibandingkan dengan Cina. Belum lagi soal reseller yang bisa dapat duit lebih gede daripada penjual beneran yang mengerami stok. Saya belum dapat beropini.

Maka di sini hanya dapat membuat catatan seputar medsos dan pelantarnya.

  1. Medsos untuk berjualan, dalam arti tanpa dukungan gerbang pembayaran, dulu pun ada namun tidak bisa masif, dengan potensi jebakan penipuan lebih besar. Misalnya saja berjualan via Blogspot dan Kaskus, dari CD musik hingga CD lingerie.
  2. Dalam pasar versi di atas, interaksi untuk transaksi berlangsung di luar sistem, maka transfer via ATM dahulu harus disampaikan kepada penjual secara japri. Respons secara terbuka biasanya kalau pembeli tak puas atau tertipu.
  3. Secara umum presensi diri di medsos itu terbuka, terutama jika untuk berjualan maupun beropini. Nama boleh samaran, namun para pengikut tahu siapa dia, bisa di Facebook, blog, Instagram, YouTube, maupun X. Tentu ada pengecualian. Oom Mobi di YouTube selalu bertopeng, namun kalangan industri otomotif, terutama APM, tahu siapa dia. Sedangkan di X, akun yang sekian kali bermigrasi, yaitu Si Pablo, tetap populer. Saya tak tahu siapa dia tetapi gemar membaca cuitannya sejak zaman Digembok.
  4. Lalu apa masalah dalam poin di atas? Tak semua orang nyaman menampilkan sosok diri secara visual dengan jelas di medsos, bisa karena malu dan kurang pede maupun alasan privasi dan keamanan.
  5. Jika menyangkut popularitas di sebuah pelantar medsos, ya mau bagaimana lagi. Tidak setiap orang, melalui akunnya, itu bisa populer. Dalam pasar musik juga sama: pemusik bagus dan jelek bisa sama-sama laku dan juga tidak. Lalu dalam wadah penulisan UGC, penulis bagus dan jelek juga begitu. Di sini saya menghindari diskusi campur tangan pengelola pelantar dalam menaikkan popularitas konten dan akun, secara manual maupun masinal (algoritma), atas nama kerja kuratorial, supaya tak melebar ke mana-mana.
  6. Mari melompat ke social commerce. Soal warung laku dan tak laku ada di pasar konvensional, sejak pasar becek, pasar besar seperti Tanahabang, pasar modern ala ITC, sampai mal premium. Selain soal harga ada pula soal lokasi kios dan ikatan dengan pelanggan. Kios mblusuk belum tentu sepi. Di social commerce, jelajah fisik berupa jalan kaki dari kios ke kios digantikan jelajah mata pada layar ponsel, dimeriahkan oleh aneka tawaran.
  7. Interaksi juga terjadi di kios konvensional, dengan maupun tanpa ponsel. Bayar belakangan juga terjadi. Di social commerce, sebagai langkah lanjut lokapasar digital, semuanya terintegrasikan. Hanya pengindraan secara langsung terhadap barang dengan menyentuh dan memegang, pun mencecap dan membaui, yang belum bisa.

Lalu? Sekian saja. Tabik.

Tinggalkan Balasan