Mas Tono Kaset tiba-tiba menelepon sepupunya, ya Kamso itu, lalu mengungkit kenangan, “Aku kok jadi inget pendapatmu soal orang main halma ya, Kam.”
“Wah aku malah ndak pernah main itu lagi setelah di hape bisa. Bahkan setelah tua, belum ada gim di komputer dan hape, aku nggak main halma lagi. Dulu waktu masih muda, main cuma iseng aja, yang buat tiga orang. Buat ngabisin sebatang rokok. Emang pendapatku apa, Mas?” jawab Kamso.
“Payah, kamu mulai pikun. Dulu kamu beberapa kali bilang, penonton orang main halma cenderung mendukung pemain yang sudah jelas bakal menang, apalagi sering menang. Cuma penonton anti-status quo atau antikemapanan yang dukung underdog.”
“Kok tiba-tiba mbahas halma, Mas?”
“Iya, kemarin ngajarin cucu main halma, terus ingat pilpres, ingat pendapatmu.”
“Beda to, Mas. Politik itu kayak catur, lebih rumit. Nggak semua penonton suka soalnya lama, pion udah mau abis aja kayak silat, gerak sana, gerak sini, menghindari serangan. Halma lebih sederhana.”
“Justru karena simpel sebagai tontonan singkat maka penonton suka, nggak mikir berlapis. Yang mikir kayak catur tuh yang main halma. Sekarang opini orang ke Bowo bakal menang, bukan ke Ganjar apalagi Anies. Nah opini itu nular, kan? Bowo juga makin pede. Dia tinggal nambah suara dari fans Jokowi. Bowo bukan antitesis Jokowi. Bukan karena aku dari dulu dukung dia lho.”
“Hahahaa…”
“Buat pengusaha, lebih enak dukung yang bakal menang. Buat apa narok duit di calon paling lemah, Kam? Nyari amsiong?”
“Atau, main dua kaki. Jangan naruh semua telur di satu keranjang, kalo liat halma selain jagoin yang bakal menang juga dukung yang kedua. Masalahnya sekarang belum jelas si nomor tiga itu siapa. Jangan-jangan yang dianggap nomor dua ternyata merosot mainnya.”
Mereka terbahak bersama-sama.
¬ Gambar praolah: Tokopedia
Halma, aduh, sudah berapa (puluh) tahun saya tidak melihatnya, apalagi memainkannya. Om Kamso eh Paman kapan terakhir kali main halma?
Lha itu dibilang waktu muda, blm ada smartphone 🤣