Hukuman 22 tahun karena bikin kerusuhan pascapilpres

Demi membela kandidat yang kalah capres, Tarrio menggerakkan kerusuhan. Dia malu dan menyesal. Bagaimana dengan si capres keok itu?

▒ Lama baca < 1 menit

Hukuman untuk Enrique Tarrio, penggerak kerusuhan pascapilpres

Jaksa distrik menuntut hukuman 33 tahun terhadap Enrique Tarrio, namun hakim memvonisnya 22 tahun. Kesalahan Tarrio adalah menggerakkan penyerbuan dan kerusuhan di Gedung Capitol, tempat Kongres AS, di Washington D.C., Januari 2021. Tokoh ormas sayap kanan Proud Boys itu termasuk motor kerusuhan untuk menekan Kongres membatalkan kemenangan Joe Biden atas Donal Trump dalam pilpres 2020. Lima orang tewas, lebih dari 140 polisi terluka.

Sejumlah 1.100 orang telah ditangkap, 630 orang di antaranya sebagai terdakwa mengaku bersalah, dan 110 orang telah divonis.

Menurut Reuters, Tarrio (39) menyatakan, “Saya sangat malu dan kecewa.” Juga, “Apa yang terjadi pada 6 Januari adalah hal yang memalukan secara nasional.” Namun dia naik banding. Pengacara memohon kliennya tak diterungku lebih dari 15 tahun.

Meskipun kerusuhan pascapilpres di AS itu mengagetkan dunia karena demokrasi di sana sudah lebih mapan, tak berarti peristiwa sejenis di negeri lain boleh dimaklumi. Apalagi dengan upaya memahami, “Amrik sudah 247 tahun merdeka, jangan dibandingkan dengan negeri baru 47 tahun berdiri.”

Saya berpikir apakah penggerak utama kerusuhan di Indonesia pascapemilihan, berikut para operator di lapangan, punya rasa malu dan menyesal?

Dalam pengandaian saya, mereka semua sebenarnya paham bahwa eskalasi didih di lapangan sangat mungkin terjadi, siapa pun yang memprovokasi. Para penggembira korban hasutan pun tak meniatkan diri menjadi martir.

Dalam pilkada sampai pilpres, kandidat yang dirugikan berhak menggugat, meminta keadilan. Membikin kerusuhan bukan termasuk hak. Supaya saya tak berpanjang-panjang sila tengok arsip berita seputar konflik pascapemilihan. Mana yang beringas, mana yang tidak, bisa kita lihat. Begitu pun siapa yang menyuap hakim — dan tentu siapa hakimnya.

Mereka yang di lapangan sampai berdarah-darah, lalu si sumber masalah bisa berangkulan dengan seteru yang sebelumnya dia lawan mati-matian, jika perlu menghalalkan segala cara, demi kuasa dan unjuk diri, “Saya tak mudah menyerah.”

Ada sih kilah pembenar, “Kalau saya nyerah sejak awal bakal mengecewakan pendukung.”

Oh, democrazy!

Tinggalkan Balasan