Saya sering menerima tawaran menggadaikan BPKB mobil via SMS dengan istilah menyekolahkan. Pengirimnya tak pernah menyebutkan nama perusahaan jasa keuangan yang menjalankan rumah gadai.
Kata orang, istilah menyekolahkan itu sudah lama, sejak abad lalu, bahkan sejak zaman kolonial. Kata simbah saya, situasi kaotik saat revolusi ada saja penjarahan rumah gadai. Namun dari para sepuh istilah yang selalu saya dengar adalah nggadhèkaké atau menggadaikan.
Istilah menyekolahkan baru saya dengar saat kuliah karena mengantar teman, seorang aktivis, untuk menebus mesin tik yang dia sekolahkan ke sebuah rumah gadai swasta. Setelah lulus dia melanjutkan studi ke Amerika hingga doktor, kini menjadi petinggi sebuah partai besar lawas. Artinya sekolah dia memang berhasil. Ya mesin tiknya, ya dirinya.
Kenapa ya sampai muncul istilah menyekolahkan barang ke pegadaian, ketika saat itu baru ada Perusahaan Jawatan Pegadaian, milik pemerintah?
Sejak dulu sekolah memang butuh biaya. Bagi umumnya orang, biaya terbesar adalah untuk pendidikan anak. Namun menyekolahkan adalah investasi jangka panjang demi anak. Memang sih barang yang gagal tebus di pegadaian akan dilelang. Sedangkan anak yang terpaksa DO karena tiada biaya tak akan dilelang, kursinya di kelas pun tidak.
Anak disekolahkan pasti bertambah pintar seiring pertambahan usia. Sedangkan barang yang digadaikan hanya bertambah tua.
Kesimpulan? Saya belum menemukan penjelasan yang pas mengapa menggadaikan barang disebut menyekolahkan. Mungkin Anda tahu?
2 Comments
Lha ini kan istilah yang sama dengan yang seeing digunakan oleh ortu saya dulu. 🤣. Barang-barang ‘disekolahkan’.
Ibu dan Simbah saya hanya bilang digadaikan, jadi saya tahunya itu.
Tapi mulai awal 2000, orang menggadaikan mobil ke Pegadaian cuma buat nitip, ditinggal mudik atau pergi jauh. Lbh aman dan murah daripada diparkir inap di bandara 😇