Ketika bersua di parkiran rumah sakit, Tejo Jaran Teji yang biasa dipanggil dengan nama Ted malah mengajak diskusi politik. “Piyé Kang, itu Jaksa Agung minta anak buahnya nunda pemeriksaan terhadap terduga koruptor yang ikut pileg dan pilpres?”
“Bukan cuma itu, juga nunda buat bakal kandidat pilkada,” sahut Kamso.
“Gimana dong?”
“Ya gimana lagi, itu jalan tengah yang aman atas nama ketertiban dalam sekian jenis pemilihan tahun depan.”
“Nggak adil dan bahaya itu! Mereka yang terindikasi korupsi punya waktu ngilangin barang bukti bahkan mungkin saksi.”
“Bisa jadi.”
“Terus?”
“Jaksa Agung nggak mau ambil risiko diserang oleh partai pengusung bakal kandidat, disebut sebagai alat politiknya entah Jokowi entah partai apa gitu sebagai alat untuk kriminalisasi politikus tertentu dan partai tertentu atau bahkan ormas tertentu.”
“Halah cuma gitu aja takut.”
“Mungkin selain diserang, Jaksa Agung juga takut dikasih tabik oleh partai tertentu karena bisa ngerem politikus dan partai tertentu.”
“Bukan dikasih tabik ‘kali, Kang. Tapi langkah kejaksaan akan jadi bahan kampanye hitam atau apalah oleh partai lain yang diuntungkan dengan pemeriksaan terhadap politikus, terutama bacapres tertentu.”
“Kalo citra penegak hukum sejak dulu bagus, nggak perlu ada tahu diri macam ini, Ted.”
Lalu mereka terbahak bersama sebelum masuk kantin.
¬ Hak cipta gambar praolah belum diketahui
4 Comments
Kenapa saya kesal ya bacanya 😅.
Yah apa boleh buat, hukum di Indonesia berasaskan prinsip oportunitas. Sebahagian kasus hukum bisa tak diteruskan jika menyangkut ketertiban masyarakat. Artinya sebuah penanganan kasus juga bisa dimajukan.
Setahu saya begitu. Peran polisi dan jaksa sangat penting.
Saya suka artikel ini, tapi ga suka penundaannya
Kayaknya semua seperti Uwa Dedi deh. Masa sih indikasi kejahatan luar biasa dibiarkan. Bersama terorisme, narkotika ilegal, dan kekerasan seksual terhadap anak, korupsi termasuk kejahatan luar biasa.