Soal rumah tinggal itu rumit. Orang bisa berdebat sampai pagi di gardu ronda untuk membahas ketersediaan pangan, sandang, dan papan bagi warga setiap warga negara.
Jawaban putus asa adalah jalan pintas: tak usah ada demokrasi, kita butuh diktator yang kuat, memerintah atas kuasa surgawi. Demokrasi sih boleh, sebagai jalan untuk menciptakan diktator, yang kemudian mengenyahkan demokrasi, demi kemaslahatan umat.
Demokrasi memang bukan tujuan, itu hanya alat yang tidak terlalu buruk dari sejumlah opsi ekstrem yang terjelek. Masalahnya apakah tujuan boleh menghalalkan cara?
Praktik demokrasi dan klaim diri negara demokrasi memang punya banyak penyakit, namun sebusuk apapun pelaksanaan demokrasi mestinya tetap memberikan ruang untuk kritik dan autokritik. Jawaban pesimistis bernada tanya: buat apa bebas bersuara tetapi tak didengar penguasa?
Rumit dan abstrak yang saya tulis di atas. Maka saya membayangkan alangkah sukanya jadi guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Apalagi kalau muridnya kritis.
Soal hunian layak misalnya. Di manakah peran dan tanggung jawab negara? Hal apa saja yang harus dipikirkan saat memilih wali kota, bupati, gubernur, dan presiden? Semoga guru tak berharap bel pergantian jam pelajaran lekas berbunyi.
Lalu setelah membaca racauan saya, ada yang membatin buat apa media berita bebas membahas apa saja tetapi publik dan pejabat tak peduli, bahkan para caleg tak tahu? Jangan-jangan demokrasi memang tidak indah.
¬ Artikel dan gambar dalam pos ini dapat Anda tengok di Kompas.id, antara lain berita utama hari ini (7/8/2023)
4 Comments
Riset nya makjleb Pakde, good posting
Lho itu bukan karya saya tapi Kompas.id. Mestinya media lain melakukan hal yang serupa: investigasi, riset, visualisasi data, dan rekomendasi. Masa sih cuma bahas artis, itu pun memindahkan konten medsos 🙏🙈
cara Pakde merangkai fakta dan data serta ngebridgingnya luar biasa bet, ditambah lagi grafisnya ituuuu … maknyuuuus
🙏💐