Salah satu pekerjaan yang tidak saya pahami adalah menjadi petugas customer service. Mereka harus bertanggung jawab untuk kesalahan yang tak mereka lakukan.
Itu tadi yang pertama. Yang kedua, saya barusan menanya seorang CS yang melayani saya, apakah bersedia dihina konsumen dan dinistakan sampai pol — jika perlu dimaki dengan semua kosakata yang ada, oleh konsumen yang marah — itu termasuk dalam klausul kontrak kerja. Ternyata jawabannya tidak.
Lalu kenapa mereka mau jadi CS ya? Berat lho jadi CS. Misalkan diganti AI pun tetap berpeluang merebus keberangan konsumen. Saya teringat jawaban sakti gadis kecil cyborg dalam serial komedi di TVRI akhir 1980-an dalam suara sintesiser kaleng: “I’m not programmed to do that.”
Akhir pekan lalu hingga awal pekan ini saya marah ke CS sebuah ISP bernama PT YouKnowLah (a.k.a. Not The First But The Laggard Media). Saya minta teknisi datang malam itu juga tak dia penuhi. Dia janjikan esok pagi datang. Saya tanya kalau petugas telat boleh saya apakan.
Harus saya ulangi beberapa kali karena jawaban dia melenceng. Tak beda dari orang ditanya suka permen rasa buah jarak atau bintaro, tetapi jawabannya malah sebutkanlah salah satu nama pahlawan nasional. Akhirnya dia menjawab, “Terserah Bapak.”
Sip. Berarti apapun yang terjadi pada teknisi bukan tanggung jawab saya, karena kata Mas CS terserah saya. Dia diam. Saya ulangi, diam lagi. Heran saya kenapa CS tak diajari cara menjawab yang memuaskan dan membahagiakan konsumen sehingga amarahnya sirna?
Esok paginya teknisi datang, dua orang. Telat sepuluh menit. Mereka saya tegur — ini termasuk “boleh saya apakan”, bukan? Begitu datang, tanpa masuk ke rumah, mereka melihat ke atas. Mereka menyimpulkan kabelnya putus. Itu lho, kabel setelah kotak saluran di tiang sebelah tiang listrik.
Oh saya ingat, siang hari sebelumnya, internet saya tiba-tiba mati justru setelah mobil teknisi berlalu. Saat itu petugasnya memanjat tiang, entah apa yang dilakukan.
Setelah internet mati saya menanya tetangga apakah mengalami hal serupa. Dia bilang sudah seminggu berhenti berlangganan, “Saya pake Telkomsel di hape.”
Nah, petugas yang datang terakhir itu kemudian menyambungkan kabel. Tetapi koneksi tetap mati.
Ternyata dia menyambungkan kembali kabel ke rumah tetangga yang putus langgan. Dan ternyata lagi kabel saya ikut diputuskan. Kata teknisi terakhir, “Yang kemarin mutusin itu bukan kita, Pak.”
Setelah kabel saya disambungkan lagi maka koneksi pun hidup. Saya protes ke ISP. Jawaban CS cewek juga tidak cerdas dan hanya bikin berang karena lama menunggu untuk menguras pulsa saya dan berbelit-belit dengan alasan mengecek dulu ke bagian lapangan. Pintar juga ISP ini: tak menyediakan saluran bebas pulsa supaya pelanggan tak lama bicara uring-uringan.
Dua satu hal yang bikin saya marah adalah si CS tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana. Pertama: “Tadi Anda bilang kabel saya diputus karena perbaikan jaringan. Lho itu perbaikan atau perusakan?”
Kedua: “Kalo saya nggak ngadu dalam 24 jam berarti perusahaan Anda nggak tahu kalo internet saya mati karena kabel kalian putuskan?”
Kekurangan semua manajemen perusahaan adalah melatih tim CS untuk defensif, bila perlu mengalihkan inti masalah. Jawaban “maaf” itu default dengan bumbu “atas ketidaknyamanan Anda”, tetapi jangan berharap ada pengakuan eksplisit “ya, kami bersalah”.
Tidak ada manajemen yang melatih CS menjawab, “Perusahaan kami memang payah, nggak mutu, mungkin layak disebut dengan cara Rocky mengatai Jokowi, karena jika diarahkan kepada kami itu memang boleh bahkan harus. Kami itu bahagia dan puwassss kalau konsumen kuciwa sampai kalap. Bahkan untuk tim CS pun dipilih orang paling tidak bermutu melalui tes. Skor terendah yang lolos.”
4 Comments
Mungkin latihan dari manajemen hanya satu, bersikap ndableg : toh konsumen komplain hingga misuh-misuh atau ngancam-ngancam cuma via sambungan telepon, tidak bertemu langsung.
Kalau kita nglurug ke kantornya bakal dihadang satpam 🤣
Paman kalau jengkel tulisannya jadi (agak) panjang.
🙏🙏🙏🙈🙈🙈