Masih menarikkah majalah dinding?

Dalam era digital, wadah kreasi tak kenal batas. Mading yang harus dibaca dengan berdiri, bukan jongkok, masih dilombakan.

▒ Lama baca 2 menit

Kompetisi majalah dinding SMA

Terbukti saya kurang termutakhirkan oleh dunia sekolah. Maka ketika membaca iklan lomba majalah dinding (mading) SMA di Kompas saya pun heran. Berarti mading masih ada. Tidak tergusur oleh media digital.

Maksud saya “masih ada” tadi bukan sekadar masih ada yang mengelola, bukan sekadar masih ada yang membaca, sehingga layak dilombakan. Ibarat bisnis media ada ekosistem yang hidup, saling membutuhkan, saling menopang, begitulah. Kalau mading tak diperbarui, ada banyak murid kehilangan.

Penyebab saya kurang paham antara lain karena anak-anak saya sudah lama meninggalkan SMP dan kemudian SMA. Untuk info lain ihwal mading, baiklah nanti saya akan menanya mantan guru SMA yang saya kenal dengan baik, yakni ibunya anak-anak saya.

Sejauh pengalaman saya dulu, saat SD hingga SMA, tentu belum ada internet, mading cuma kalau ada ya bagus, kalau lenyap ya mana ada urus.

Saat saya SD, isi mading yang menarik bagi siswa itu adalah gambar bagus dan tulisan jenaka. Saya ikut mengelola. Berpartipasi pas banderol karena ditugasi guru untuk ikut mengurusi buletin board — demikian para guru menyebutnya, setelah sekolah menjadi proyek laboratoris pendidikan oleh FKIP UKSW, Salatiga, Jateng. Tulisan dan gambar karya saya kata para guru adalah “aneh”.

Di SMP, mading dikelola oleh guru bahasa Indonesia, namanya Pak Masno. Selalu ada puisi, biasanya ditulis oleh cewek. Lainnya adalah artikel saduran secara ringkas. Saya hanya pernah mengisi sekali.

Saat itu belum ada komputer, saya membuat gambar pop art, ada foto David Bowie dengan rias mirip perempuan, saya tambahi garis dan blok, plus teks dengan Letraset berbunyi “superstar”, lalu saya fotokopi kontras tinggi dengan Xerox.

Para pembaca mading kaget dan kagum karena karya saya tampak “maju”, seperti di majalah Aktuil, meninggalkan gambar vignette kendi atau tempayan dan wanita berwajah separuh dengan stilisasi floral, yang selalu mewarnai mading. Tetapi tak ada yang tahu itu bikinan saya karena tanpa nama.

Di SMA saya ikut mengelola mading. Karya yang masuk seret. Saya sadar, berarti mading tak menarik. Lalu kami tambahkan komik, karya salah satu editor, yaitu adik saya yang kemudian jadi ketua OSIS.

Komik lebih menarik. Puisi juga menarik, dan yang disukai adalah karya Bambang Londo, gondrong, suka baca sastra, sering pakai overall Levi’s — seragam di sekolah saya mulanya hanya setiap Senin, atas putih bawah putih, baju tak wajib masuk celana. Dia mengerjakan saat tenggat sambil merokok Dji Sam Soe karena sore hari tak ada guru.

Kini setelah terpaan informasi kian kencang, dan saluran kreasi ada di banyak pelantar, apa saja isi mading, media internal yang harus dibaca dengan berdiri, bukan jongkok, itu?

2 Comments

junianto Rabu 2 Agustus 2023 ~ 14.26 Reply

Mas Bambang Londo, sosoknya tergambar keren.

Pemilik Blog Kamis 3 Agustus 2023 ~ 11.21 Reply

Kulitnya putih, Asiatica Indo, rambut kemerahan, di luar seragam seminggu sekali hanya mengenal jin belel, semua kertas puisi karyanya di mading dibolongi bara rokok. Dia adik kelas saya.

Tinggalkan Balasan