Alas kaki harus dilepas atau tidak?

Rancangan arsitektural banyak yang sejak awal tak memasukkan unsur aturan alas kaki dilepas atau dipakai.

▒ Lama baca < 1 menit

Melepas alas sepatu di toko tembakau Aszro, Pondokmelati, Bekasi

Pertanyaan bodoh dalam judul tulisan ini mudah dijawab: ikuti aturan tuan dan puan rumah.

Maka meskipun telapak kaki terasa ngeres, saya mengikuti aturan warung tembakau ini. Apalagi saya berjalan kaki. Sejak dari yang rumah telapak sepatu saya membawa kotoran. Bahkan misalnya saya naik kendaraan pun setelah kaki menginjak halaman parkir pasti telapak sepatu kotor.

Bagaimana kita di rumah masing-masing? Setiap rumah punya aturan. Di rumah saya alas kaki dipakai, kecuali barusan dipel. Bukannya lantai jadi kotor? Pasti. Tetapi kalau alas kaki dilepas, telapak kaki jadi ngeres. Maklumlah debu sangat banyak, padahal rumah saya bukan ruang tertutup yang ber-AC. Misalnya rumah saya di Jogja, butiran pasir akan terbawa alas kaki.

Di rumah Kobek ada cara menyiasati: tersedia sandal dalam rumah dan sandal luar rumah. Adapun tamu kami larang melepas alas kaki, apalagi kalau mereka memakai sepatu bertali maupun terlebih sepatu bot. Namun kebanyakan mereka enggan padahal saya sudah bilang belum mengepel lantai.

Jika niat dari rumah memang khusus akan bertamu ke rumah orang, tanpa mampir tempat lain, biasanya saya memakai slip-on atau sepatu sandal. Mudah melepaskannya.

Bahkan di rumah tertentu kadang saya melepaskan alas kaki dengan memunggungi pintu supaya pulangnya mudah, apalagi kalau di depan pintu berjejalan alas kaki karena ada perhelatan.

Lalu di mana masalah alas kaki ini? Untuk rumah kecil tak cukup tersedia penahapan mengurangi kotoran alas kaki. Dari jalan, ke pintu pagar, lalu teras, dan pintu masuk rumah terlalu singkat. Kalau alas kaki dipakai akan mengotori lantai.

Sejauh saya beroleh kesan, rancangan arsitektural banyak yang sejak awal tak memasukkan unsur aturan alas kaki dilepas atau dipakai. Kalau dilepas harus ada tempat meninggalkan sandal dan sepatu tanpa menyesaki pintu dan teras. Ada solusi pemilik rumah sih: menambah perabot berupa rak sepatu di luar.

7 Comments

Pemilik Blog Senin 24 Juli 2023 ~ 14.49 Reply

Mestinya nama kota dan kabupaten berbeda. Ada puluhan nama kota dan kab yang kembar. Bisa merepotkan.

Lha wong kasus di Karanganyar dan Boyolali saja diadukan ke Walkot Solo padahal nama wilayahnya beda, apalagi kalo sama

morishige Senin 24 Juli 2023 ~ 01.43 Reply

Yang menarik justru tulisan “Alas kaki harap dilepas!!”, Paman. Kata harap mengindikasikan bahwa ada opsi, sementara tanda seru menunjukkan kalau melepas alas kaki itu imperatif. :D

Pemilik Blog Senin 24 Juli 2023 ~ 01.56 Reply

Aha! Tadi sempat akan saya bahas lalu saya batalkan. Dan Jejaka Petualang pun tergerak. 🙏😇

junianto Minggu 23 Juli 2023 ~ 23.26 Reply

Meski lantai rumah saya jarang saya pel, belum tentu seminggu sekali, dan hanya saya sapu tiap sore, saya mewajibkan orang masuk tanpa alas kaki. Cara mewajibkan, dengan selalu menaruh sandal (dan kadang sepatu) saya sekeluarga di depan garasi sekaligus depan teras, yang lantainya lebih rendah. Dengan cara itu tamu akan tahu maksud tuan rumah sehubungan dengan pemakaian alas kaki.😁

BTW ada tulisan rumah Kobek di paragraf empat. Kobek itu apa to, Paman?

Pemilik Blog Senin 24 Juli 2023 ~ 02.01 Reply

Nah, sandal gunung dan slip on obrokan saya di carport itu rupanya yang dianggap amar bagi tamu. Kalo keluar dari rumah saya pakaian salah satu dari itu. Nyirami tanaman pake sandalian gunung. 🤣

Kobek bbrp kali saya pakai. Bukan istilah resmi, itu singkatan saya untuk Kota Bekasi krn Bekasi yang kabupaten juga ada.🤭

Tinggalkan Balasan