Botol air putih sebagai bekal perjalanan itu lumrah. Tak ada yang istimewa. Apalagi sepeda patroli satpam perumahan ini terpasangi dudukan botol. Soal botol sih bisa botol khusus untuk sepeda maupun botol apa saja. Sumber air putih dari mana juga tak penting.
Lebih penting ini: sejak kapan orang berbekal air putih dianggap biasa?
Saya menduga sejak medio 1970-an sampai awal 1980-an ketika air kemasan banyak dijual. Sebelumnya, seingat saya, membeli air putih itu aneh. Tetapi membeli Teh Kotak, susu Ultra, Buavita, Tehbotol Sosro, dan aneka limun itu lazim.
Membeli minuman untuk ditenggak di tempat, bahkan di pinggir jalan, dulu biasa. Tetapi membeli minuman untuk dibawa itu merepotkan karena botolnya dulu dari kaca. Kemudian ada botol plastik untuk air putih, harga botol sebagai komponen biaya konon sampai 60 persen.
Oh, minuman sebagai bekal. Kisah terkenal Tehbotol Sosro bermula dari ide sang juragan, Soegiharto Sosrodjojo, sering melihat orang bepergian jauh berbekal teh dalam botol, pada akhir 1960-an.
Saya mengalami ke sekolah, TK, di Salatiga, Jateng, berbekal botol selempang berisi teh manis. Setelah kelas satu tidak. Kalau haus, padahal uang jajan habis, saya ikut teman pulang ke rumahnya, dekat sekolah. Ketika kulkas masih mahal, rumah keluarga Indo itu punya kulkas cempluk Westinghouse. Kadang saya dapat air es, kadang dapat es sirop. Usai minum kami kembali ke sekolah, masih ada sisa waktu umbar.
Saya lupa — lebih tepat: tak memperhatikan — sebelum ada air putih dalam botol plastik itu kusir dokar, tukang becak, dan sopir angkot membawa minuman apa untuk diteguk dalam perjalanan. Begitu pun sopir bus dan sopir truk. Kalau di kantor-kantor sih dulu saban pagi ada segelas teh manis hangat di setiap meja. Ada petugas yang melakukan itu.
Tetapi saya ingat di kota saya dulu ada saja rumah yang menyediakan kendi di depan pagar. Isinya air mentah. Biasanya peminumnya orang desa, misalnya simbok bakul dan penjual arang, yang berangkat dan pulang dari pusat kota dengan berjalan kaki.