Lagi, perkara mengabarkan perilaku buruk seseorang namun belum tentu benar karena tidak diproses secara hukum hingga final. Penyiaran info dilakukan dalam laman testimoni konsumen di sebuah platform lokapasar. Saya memahami kejengkelan si konsumen. Jika saya yang jadi korban pasti juga kesal dan marah.
Inti cerita, seorang pemesan monitor layar sentuh seharga Rp2,8 juta kecewa karena tak menerima barang yang telah dia bayar. Menurutnya, barang tersebut dibawa kabur oleh kurir, seorang tukang ojek daring. Tuturan sang konsumen ada dalam tangkapan layar yang telah saya sensor.
Dalam foto testimoni, semua info lengkap, sejak wajah hingga KTP si kurir. Kelanjutan aduan saya tidak tahu. Bagaimana jika ada orang yang jahat memanfaatkan info dalam KTP tersebut? Memang sih, NIK dan alamat sudah disensor, namun info tak lengkap juga bisa dimainkan.
Saya heran kenapa pihak platform membiarkan saja, demikian pula si penjual. Masalah macam ini bisa menjadi perkara hukum jika si kurir tak terima.
Lalu apa bedanya dengan pengungkapan kasus, secara sepihak, di misalnya Twitter? Agak berbeda. Di Twitter, juga Facee, setiap pengguna bisa menciutkan apa saja namun pihak lain dapat berkeberatan. Di lokapasar, cakupan fungsi laman testimoni lebih spesifik dan terbatas, hanya menyangkut jual beli.
Kalaupun ada masalah dalam pengantaran barang, dari rusak sampai raib, biasanya tak sampai ke penyeranganu pribadi apalagi dengan pemaparan mengarah doxing.