Andaikan semua kucing itu manis dan lucu

Pencinta kucing ogah memandulkan kesayangannya. Permusuhan kucing dan tikus hanya mitos?

▒ Lama baca 2 menit

Saya tidak antikucing namun belakangan terus direpoti kucing, tak hanya kucing liar tetapi juga kucing berkalung giring-giring piaraan dan kucing yang punya rumah untuk mangkal.

Mereka semua sama: berak dan muntah di rumah saya, termasuk di pot tanaman, dan merusak atap karena melompat dari bubungan saat berkelahi pada musim kawin. Kucing besar bisa saya kecoh, tetapi kucing kecil dan remaja bisa lolos dari penghalang kumis.

Yang terakhir, ada kucing beranak dalam bagian dalam plafon di atas kamar saya, lalu setelah itu merusakkan lampu langit-langit. Akses ke genting saya dari atap tetangga.

Aneh, mereka tak melakukannya di rumah orang yang memiara maupun tak memiara namun setiap hari memberi makan. Kalau saya bilang ini konspirasi manusia dan satwa pasti saya dianggap lebay. Apa boleh bikin. Toh saya tidak dapat membuktikan persekongkolan itu.

Saya sedikit terhibur ketika membaca tulisan wartawan Kompas Neli Triana, “Kucing, ya, di mana-mana sekarang memang banyak kucing. ” Artinya saya tak sendirian.

Saya merasakan populasi kucing tiga tahun terakhir ini tak terkendali. Neli menulis, “Di permukiman, sulit membedakan si pus yang berkeliaran itu benar-benar liar atau peliharaan seseorang yang sudah bosan.”

Ya, kesan saya pun begitu. Saya malah beroleh kesan seperti ada penularan semangat untuk menyayangi kucing liar entah atas nama apa, tanpa peduli bahwa mereka cepat berkembang biak dan berak sembarangan.

Pekan lalu dua kali saya menyemprotkan air ke kerumunan kucing dan pakannya, sebangsa Whiskas, yang dionggokkan di depan pagar saya. Di sebuah Alfamart, kucing yang menyusup juga berswalayan: mendodosi Whiskas. Mereka suka produk pabrik.

Mungkin maksud pemberi pakan supaya setelah itu para meong pup di area saya. Musim libur sekolah kemarin ada sejumlah cewek ABG membawa kantong pakan lalu memberikannya kepada setiap kucing yang mereka jumpai.

Ada tiga hal utama yang tak saya pahami:

  • Mereka yang merasa penyayang kucing hanya tahu memberi makan, tidak mau melakukan sterilisasi
  • Tidak semua pemiara kucing, apalagi yang hanya tahu mengempani, bersedia melatih kucing untuk pup di tempat yang disediakan
  • Jumlah kucing bertambah namun jumlah tikus tidak menyusut

Entah siapa yang lebih cepat berkembang biak, tikus ataukah kucing, tetapi rasio populasi pemangsa besar dan mangsa kecil tidak harus 1:1, dengan diet sehari cukup seekor tikus, terlepas dari fakta sering tak disantap habis. Lebih dari sekali saya melihat kucing mencuaikan tikus saat berserobok. Berarti permusuhan mereka hanya hikayat.

Soal pup ini, di kampung dekat kompleks saya ada seorang nenek yang memiara hampir sepuluh ekor kucing kampung. Semua meong pup di peturasan dalam rumah karena dilatih. Bukan pup di rumah tetangga.

Kabar baru soal kucing, Ahad kemarin saya menanya Bu S yang tangan kanannya dibebat. Saya pikir tangan ibu sepuh itu patah. Ternyata tangannya bengkak karena digigit kucing dua hari sebelumnya. Saya lihat, selain bekas gigitan ada garis luka mirip bekas cakaran.

Padahal Bu S tidak antikucing, malah peristiwa terjadi saat dia membungkuk hendak mengelus meong di depan rumah pemiaranya. Bu S sehabis senam ngobrol dengan si pemiara kucing.

Hingga tadi siang tangannya masih bengkak padahal sudah dibawa ke empat rumah sakit, yang terakhir malah ke RS khusus penyakit infeksi di Jakut.

Saya bukan orang kesehatan, namun membaca penjelasan di Halodoc tentang korban gigitan kucing saya waswas. Merujuk American Academy of Pediatrics, situs tersebut menulis “infeksi terjadi pada sekitar 10 hingga 15 persen gigitan anjing dan 50 persen gigitan kucing”.

Jangan beli kucing di minimarket

Sejauh ini bisa mengecoh kucing

Keluarga kucing dalam kardus di jalan

Tinggalkan Balasan