Zonasi PPDB mengundang manipulasi. Mungkin jika ortu licik ditindak, sehingga anaknya dirugikan, mereka protes kenapa penegakan tak berlaku surut.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Manipulasi dalam zonasi PPDB

Alamat palsu di BPKB dan STNK untuk mobil kedua dan seterusnya, apalagi mobil mahal, bukan hal baru. Bahkan orang pajak macam Rafael Alun Trisambodo pun melakukannya.

Alamat fiktif, dengan menumpang kartu keluarga orang lain, dilakukan orangtua untuk menyiasati zonasi pendaftaran peserta didik baru (PPDB), juga bukan hal baru. Kalau perlu menumpang KK pemilik kantin sekolah seperti terjadi di Yogyakarta. Pelakunya antara lain anggota Polri, korps penegak hukum.

Manipulasi dalam zonasi PPDB

Maka sampailah kita pada satu soal: apa sih yang sulit bagi orangtua maupun guru dalam mendidik anak di Indonesia? Penanaman nilai-nilai kehidupan.

Pemeo di Indonesia menggemakan pesan bahwa semuanya tergantung pintar-pintarnya kita.

Maka makna pintar pun boleh bergeser, merapat ke cerdik, lalu selangkah lagi ke licik. Ceramah tentang akhlak nan mulia menjadi obat tidur karena menjemukan. Dalam keseharian hal itu tak penting, dari soal mengantre, berlalu lintas, hingga menyampah. Lebih penting bicara surga dan neraka namun mengabaikan kesalehan sosial.

Manipulasi dalam zonasi PPDB

Ahli pendidikan bilang, children learn what they live. Anak-anak belajar dari yang mereka lihat dari orangtuanya, bukan dari apa yang bapak dan ibunya ceramahkan. Setiap guru pasti hafal puisi karya Dorothy Law Nolte yang abad lalu diterjemahkan Jalaludfin Rakhmat dalam Psikologi Komunikasi.

Pernah saya contohkan, seorang gadis lima tahun menangis dan rewel, takut dibawa ke tempat lain, padahal dia didampingi omanya, karena Eyang Putri Tetangga menyetir sesuai aturan, sementara ayah si gadis kecil selalu melawan arus, mengabaikan rambu verboden. Tak kenal waktu, banyak warga melawan arus di jalan itu.

Di ujung jalan melawan arus itu kalau pagi ada polisi mengatur lalu lintas, bahkan di ujung itu juga ada pos polisi. Namun polisi membiarkannya. Hanya secara periodik mereka memasang spanduk tentang jalan searah.

Lalu bagaimana dengan anak-anak yang tahu bahwa dirinya bisa lolos ke sebuah sekolah favorit karena orangtuanya cerdik lalu licik? Tahap perkembangan setiap pribadi berbeda. Tetapi bukan keajaiban jika anak-anak itu kelak juga menyukai kecurangan, seperti Mario menirukan Rafael.

Manipulasi dalam zonasi PPDB

Di sisi lain, anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan steril tanpa kelicikan, di rumah maupun sekolah (misalnya ketahuan menyontek langsung dikeluarkan), ketika kuliah apalagi bekerja bisa stres karena gagal suai. Ternyata kehidupan tak berisi das sollen, atau yang semestinya, setidaknya seyogianya, melainkan das sein, atau yang senyatanya.

Terhadap kecurangan PPDB, tentu guru dan sekolah tak mau disalahkan. Ada kerumitan di luar kuasa mereka. Bahkan terhadap hasil pengukuran jarak secara terestrial tradisional — dalam arti menggunakan meteran sambil berjalan kaki —dari rumah ke sekolah, oleh seorang kakak calon siswa yang tertolak karena dianggap di luar zona, pihak sekolah berkelit penolakan itu oleh sistem.

Di luar urusan zonasi, dulu beberapa sekolah swasta meminta lembar tagihan listrik orangtua calon murid. Kenapa? Ada saja ortu yang mengaku miskin supaya dapat keringanan uang pangkal dan sebagainya. Tetapi setelah anak diterima, ortu yang kikir itu mengantar anak gonta-ganti mobil bagus padahal mereka bukan pedagang mobkas.

Manipulasi dalam zonasi PPDB

Di sebuah sekolah swasta di Tangerang, yang kebetulan sejumlah ortu yang bekerja di sebuah korporasi media menyekolahkan anak di sana, memasang seorang wakil direktur sebuah divisi sebagai pewawancara uang sumbangan.

Kata seorang ibu, manajer di perusahaan itu, “Urusan jadi cepet, Pak Bos bilang udahlah langsung aja, kita kan sama-sama tahu gajimu.”

¬ Infografik: Kompas.id

Selamat datang terooossss di negeri calo

Gelar akademis itu penting, cara memperolehnya juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *