Saya sudah pasang kuda-kuda jika ditanya. Apakah saya buzzer-nya Kompas? Bukan. Bersediakah saya membantu menjelaskan gambar kecil yang sulit dibaca dalam pos ini? Tidak. Untuk membaca di layar ponsel saya saja repot apalagi menjelaskannya.
Lalu apa yang akan saya ceritakan dalam blog nan gombal ini? Ketika membaca e-paper koran Kompas dua hari lalu (Senin, 10/7/2023), berupa paket artikel kesehatan mental, saya terkesan oleh laporan dan infografiknya.
Ketika akan saya bagikan di blog ini ternyata belum muncul versi webnya. Baru hari ini (12/10/2023) artikel itu terlihat dengan tanggal seperti di koran, namun tanpa infografik besar center spread dua halaman Koran. Mungkin masalah ada di mata dan kecermatan saya.
Ada yang lebih wigati di luar pasal mata saya. Konten berupa e-paper maupun laman web itu tidak gratis. Saya tak menyalahkan penerbit maupun pembaca media berita. Penerbit tidak bisa menyediakan konten bagus secara gratis semuanya karena jurnalisme butuh ongkos. Di sisi lain pembaca telanjur terbiasakan oleh konten gratis karena sudah membayar dengan biaya akses dan rela diganggu iklan penyesak layar.
Paket laporan Kompas tentang kesehatan mental, lengkap dengan data, ini relevan bagi siapa? Jawaban dagang: semua pembaca, termasuk para orangtua yang punya anak remaja. Jawaban dalam tafsir saya: untuk para guru, terutama guru bimbingan konseling¹.
Lalu konten macam ini apakah hanya dapat diberikan oleh Kompas? Saya yakin tidak. Media gratis, termasuk media dengan layanan plus, pun bisa; bahkan dengan konten multimedia nan interaktif. Kenapa mereka tak melakukan, bukan tugas saya menjawab. Penerbit dan redaksi lebih tahu dan lebih berhak menjelaskan.²
Saya pernah mendengar dua orang ngobrol. A bilang, internet via ponsel menjadikan semua informasi tersedia, tak ada lagi kesenjangan informasi. B berkomentar, sampai kemudian layanan konten berbayar mengacaukannya. Saya diam saja karena sedang malas sok tau untuk berceramah tentang ekosistem bisnis media dan keragaman selera publik, padahal saya juga tak paham.³
Namun tentang kesenjangan informasi, dengan ataupun tanpa internet, gratis maupun berbayar, sejak dulu ada. Juga, masih ditambah dengan maupun tanpa misinformasi, disinformasi, kesalahkaprahan, mitos, dan seterusnya.
Posisi saya dalam kesenjangan informasi? Termasuk yang tertinggal. Akses saya terbatas.
¹) Bukan sampel representatif: lima orang guru dan pensiunan guru tetap cuek terhadap info visual yang saya bagikan via WhatsApp, padahal kalau berbicara topik ini bersemangat — saya menduga mereka tak punya nomor saya
²) Ada sih jawaban yang mungkin benar: kalau semua dan setiap media bisa menyajikan info seperti Kompas, kasihan penerbit di Palmerah itu karena tidak bisa kemaki
³) Saya tak memerosokkan diri dengan membandingkan kenapa untuk menikmati pengaliran video dan audio musik orang bersedia membayar; contoh serupa untuk siaran olahraga premium
¬ Hak cipta infografik: Kompas.id
2 Comments
Saya termasuk jenis pembaca yang telanjur terbiasakan oleh konten gratis, setelah membayar/membeli “kuota”. Merasa tak perlu membayar lagi, dan merasa cukup dengan buanyak konten gratis.
Tentang kesenjangan informasi, Paman sangat benar, itu terjadi sejak lama sampai sekarang, ada atau tidak ada internet, gratis atau mbayar.
Tentang satu dari tujuh remaja di dunia mengalami gangguan jiwa, aduh, ngeri juga. Karena saya punya satu anak remaja.
Sebenarnya kesehatan mental itu masalah semua orang, termasuk saya.
Soal media, ada nggak ya yang gratis tapi sebagus atau lebih bagus dari Kompas?