Tidak banyakkah media yang punya arsip foto orang tertawa? Mengelola pustaka foto, bahkan dalam era digital itu tak mudah.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Foto orang tertawa dalam media

Tertawa itu mudah kalau kita memang ingin tertawa. Apalagi jika suasananya nyaman dan natural: kita tidak dalam posisi berpose maupun jaim. Hanya aktor yang bisa tertawa lepas karena tuntutan lakon — tetapi dalam pentas teater tidak bisa retake.

Seseorang atau sekelompok orang tertawa adalah satu hal dan bagaimana orang lain membekukan tawa melalui kamera adalah hal lain karena bukan hal mudah.

Fotografer serial pranikah mungkin punya foto candid calon mempelai tertawa lepas, namun komposisi gambar dan latar adegan tak sesuai rancangan. Lalu bagaimana untuk foto berita?

Foto orang tertawa dalam media

Saya tergerak menulis tentang foto orang sedang tertawa ini karena artikel di Kompas memuat arsip foto orang tertawa untuk ilustrasi bahasan. Lalu secara acak saya mencari foto orang tertawa di media.

Foto orang tertawa dalam media

Foto sebagai gambar diam adalah hasil pembekuan gerak. Sering kali foto itu merupakan perolehan adegan dari jarak jauh dengan lensa panjang. Bukannya dengan ponsel biasa juga bisa? Upclose and personal bisa jika kita berada dekat dengan sasaran bidik dan orangnya tak terganggu dengan ponsel kita.

Dengan kamera DSLR berlensa sudut lebar juga bisa namun tantangannya lebih berat. Memakai kamera saku atau DSLR nircermim yang kecil juga bisa tetapi kalah luwes bila dibandingkan ponsel, apalagi memotret presiden.

Foto Jokowi tertawa dalam media

Apapun kameranya, hasil foto dan video itu berbeda. Dalam video tampak proses orang terpingkal. Dalam foto, termasuk yang hasil tangkapan video, berbeda kesan karena ya itu tadi, peristiwa telah dibekukan. Bagi fotografer, ini soal biasa jika dibandingkan saya dan Anda yang terbiasa asal jepret. Menangkap momen itu sulit.

Foto Jokowi tertawa dalam media

Dalam pos ini saya tak membahas teknik fotografi karena saya bukan fotografer. Saya lebih tertarik menyoroti media dalam memanfaatkan foto, hanya berdasarkan kesan, dan saya berharap saya salah besar.

Foto Nikita Mirzani dan Baim Wong tertawa

Kesan saya: umumnya media tak memanfaatkan stok foto medianya sendiri yang berisi adegan orang tertawa. Stok foto itu ada yang primer, yakni hasil jepretan awak media tersebut, dan ada stok sekunder dalam arti hasil jepretan agensi foto dan bank foto yang dilanggani redaksi.

Foto Antara Foto, AFP, AP, EPA, Reuters, Getty Images, Adobe Stock, Shutterstock, Freepik freemium dan sejenisnya termasuk stok sekunder. Demikian pula foto dari korporasi, misalnya pasokan dari humas Boeing sampai perusahaan minyak.

Media memanfaatkan foto orang tertawa dari stok Freepik

Yang bukan langganan, tinggal ambil namun dengan sopan santun, adalah dari media lain termasuk media sosial. Namun jika kita ingin memanfaatkan foto Antara Foto di Instagram sebaiknya baca aturan pakai.

Adegan Jokowi terpingkal-pingkal

Lho memangnya repot mengurusi stok foto, bukannya tinggal mengangkat versi WebP maupun AVIF yang termuat? Yang saya maksud stok itu arsip dengan data yang jelas berupa info data teknis (EXIF) sampai kapsi dan nama fotografer. Tentu resolusi foto macam itu seperti aslinya: besar. Mungkin yang versi RAW juga tersedia.

Saya tak tahu apakah setiap media mengelola arsip fotonya dengan bagus. Maksud saya foto-foto tak berada dalam storage pribadi fotografer, termasuk yang di awan, karena merupakan khazanah perusahaan penerbit. Tempo dan Kompas, pun Antara Foto, dalam kesan saya, termasuk bagus dalam mengelola arsip foto. Anda bisa melanggani maupun membeli eceran foto mereka dalam resolusi tinggi. EXIF dan kapsi ada dalam data foto.

Saya tak tahu, untuk media yang sudah tutup bagaimana nasib stok fotonya, dalam format digital maupun film negatif, slides, dan kertas foto. Padahal itu berisi sejarah.

Stok foto milik almarhum majalah berita bergambar, hampir semuanya hasil fotografi analog, sempat tersimpan lama di sebuah gudang penerbit, lalu ada fotografer yang menyelamatkan.

Tetapi ribuan foto, milik almarhum media apapun, tanpa seleksi apalagi tanpa katalog berisi anotasi, belum bisa disebut arsip, bukan? Saya membayangkan bagaimana kecanggihan National Geographic mengelola pustaka foto. Kalau arsip majalah Life sih dikelola oleh Google.

Halah, kalau foto cuma buat ilustrasi kenapa ribet, padahal artikel cuma dibaca sekilas, karena waktu orang kian terbatas, bukannya pakai AI juga bisa? Baiklah.

¬ Hak cipta foto dalam pos ini ada pada masing-masing media

¬ Video Jokowi terpingkal dari gambar GIF ada di kanal Jakartanicus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *