Mencoba becermin diri dari pengecer koran

Aku dulu tak dapat berterus terang di luar dunia kerja bahwa aku wartawan. Ada masalah apa sebenarnya?

▒ Lama baca 2 menit

Sebuah pengakuan: aku pernah jadi wartawan

Senja gelap sekira pukul enam seperempat, gerimis masih bersisa di atas jembatan penyeberangan di depan pagar trotoar Penjara Paledang, yang terhubung ke atas pagar Stasiun Bogor, ruang lintas pejalan kaki banyak yang tinggal separuh. Banyak penjual di sana. Termasuk di anak tangga. Salah satunya pengecer koran.

Dalam gegas memburu kereta yang segera berangkat, kulirik nama koran dalam pelukannya. Ada sekitar enam. Ponselku merekam sekenanya sambil menunggu giliran untuk berpapasan.

Sebentar lagi malam, lalu sebelum kereta terakhir tiba dari Jakarta apakah dia masih menawarkan koran misalnya tersisa? Adakah yang membeli? Aku tak tahu. Tepatnya: tak mau tahu. Buktinya aku tak mewawancarai dia. Atas nama ketergesaan.

Pengecer koran. Dulu mereka sering dibuai pemuliaan peran oleh penerbit sebagai ujung tombak. Mereka kadang diundang ke acara ultah koran, terutama untuk usia yang dianggap bermakna sebagai tonggak: lustrum, sewindu, satu dasawarsa, dan seterusnya. Ada nasi kotak, dangdut, kaus promosional, dan door prize. Setelah itu silakan menjual dengan cara sendiri.

Nasib koran, tabloid, dan majalah cetak sudah melewati gundah perihal senjakala bisnis. Tak menarik lagi untuk dikeluhkan, pun untuk dikenang dengan romantisisme berlebihan. Zaman terus bergerak. Disrupsi bukan mantra, bukan slogan, melainkan kenyataan.

Aku pernah bekerja di media cetak, dari masa jaya hingga saat senjakala baru sayup terdengar. Hanya ada rasa senang ketika produk yang aku ikut mengisi ada di tangan pengasong dan pelapak.

Tak ada pikiran memuliakan mereka dengan bertakzim. Aku tak beda dari karyawan produsen fast-moving consumer goods pada umumnya. Karena merasa tak bertugas di bagian riset maupun pemasaran aku tak memperhatikan detail produk di warung kampung sampai gondola bersewa mahal di supermarket.

Aku hanya senang dan diam ketika mewawancarai pemilik salon premium ternyata para pelanggan berhelm steamer menunggu selesai sambil membaca majalahku. Hal sama terjadi ketika di lapak dan toko buku ada anak maupun orang dewasa, termasuk ibu-ibu muda yang memang masuk segmen, membeli majalahku dari jenis lain lagi.

Banggakah aku? Tidak. Mungkin aku pengecut. Di luar pekerjaan aku tak mendaku diri sebagai wartawan, jurnalis, pewarta, atau apalah.

Jika ditanya tetangga aku hanya bilang bekerja di penerbit, atau penerbitan, dan ada rasa lega tanpa niat mengoreksi jika mereka menduga aku bekerja di penerbit buku bermacam isi, sejak pelajaran sekolah sampai beternak lele.

Akhirnya ada yang tahu juga. Aku malas ditanya karena harapan ensiklopedis mereka bahwa wartawan paham aneka soal. Aku punya kekhawatiran akan dimintai tolong urus ini itu, oleh siapa pun, seperti calo dan penghubung. Wartawan lain mengalami karena dianggap banyak relasi.

Di sekolah anak-anakku, sejak TK sampai universitas, pada kolom pekerjaan orangtua aku isi swasta, bekerja di penerbit. Aku tak berdusta, karena aku sebut nama PT pemilik SIUPP yang ada di masthead.

Hal sama aku ulangi setelah aku bekerja di media daring pasca-era SIUPP. Nama PT-lah yang aku sebut, bukan jenama media yang terwakili dalam URL. Aku tak berbohong karena info itu sesuai isi laman web dalam struktur folder: about us. Tetapi akhirnya orang lain tahu juga yang sebenarnya. Aku tak mungkin menyensor ucapan anggota keluargaku dan kenalanku.

Ketika memulai ngeblog, dengan nama samaran, aku tak menyebut pekerjaanku. Majalah Tempo mencontohkan blogku bersama blog lain tanpa menyebut profesiku. Beberapa tahun kemudahan GM menyebut namaku dalam Caping hanya sebagai bloger. Saat menulis kolom di Koran Tempo aku menyebut diri bekas bloger karena saat itu blog aku kunci.

Pertautan dengan grup Tempo sudah terjadi awal 2000-an. Sebagai pelanggan aku diundang FGD Koran Tempo di Gedung Jaya. Ketika aku tiba dan dimintai kartu nama, pengundang kikuk dan mengatakan sebenarnya sesama orang media tidak boleh ikut.

Aku tak tersinggung. Aku paham. Akhirnya aku boleh lanjut karena saat itu aku ikut mengelola sejumlah situs nonberita. Koresponden Tempo di Berlin pula, bersama anak The Jakarta Post di sana, yang meliput aku beroleh penghargaan dari Deutsche Welle di Bonn, tanpa menyebut aku wartawan.

Loper, pengecer, dan pelapak, bisa terang-terangan berjualan karena tak terlibat produksi. Meskipun aku terlibat membuat isi mestinya aku juga berterus terang tentang diri. Tetapi nyatanya tidak. Kini setelah menjadi mantan, aku bisa.

Sebuah pengakuan: aku pernah jadi wartawan

Plus minus ngeblog sebagai orang media

4 Comments

junianto Rabu 5 Juli 2023 ~ 09.45 Reply

Jauh berbeda dari Paman, dahulu saya sering mendaku diri sebagai wartawan, jurnalis, di berbagai kesempatan dan berbagai tempat. Yah, karena saat itu saya memang wartawan.

Setelah saya pensiun, di berbagai kesempatan dan tempat orang-orang masih menyebut saya wartawan, tepatnya wartawan tua (watu). Saya bilang saya bukan lagi wartawan karena sudah pensiun, dan sekarang bloger sekaligus karyawan bagian pengadaan-pembelian sebuah resto bernama Warung Selat Mbak Lies….

Pemilik Blog Rabu 5 Juli 2023 ~ 11.03 Reply

Watu 🤭
BTW ada lowongan di bagian pengadaan nggak? Saya mau ndaftar, bosen nganggur 🙏

junianto Jumat 7 Juli 2023 ~ 21.12 Reply

Ha monggo ndaftar. Via email saja ya. Alamat emailnya silakan cek di web selatmbalies dot com
😁

Tinggalkan Balasan