Februari lalu saya lega setelah membaca kabar bahwa jembatan penyeberangan orang (JPO) di Stasiun Cawang, Jaksel, akhirnya disambung. Saya punya arsip tulisan delapan tahun silam (2015), dan belum mencari tahu sudah berapa tahun keanehan itu dibiarkan.
Baru pekan lalu saya membuktikan fasilitas baru itu. Saya untuk pertama kali, setelah prei naik Transjakarta dan KRL karena pandemi, merasakan kembali angkutan umum modern.
Sebelumnya, penumpang Transjakarta dari arah simpang susun Cawang sekeluar dari halte harus mendaki JPO untuk turun di trotoar, karena tak mungkin menyeberangi Jalan M.T. Haryono, lalu masuk lorong underground sempit di bawah jalan tol untuk masuk ke Stasiun Cawang.
Sejak dulu saya punya prasangka penataan pedestrian oleh pemerintah, pusat maupun lokal, tidak dirancang maupun digarap oleh orang yang paham angkutan umum. Bahkan saya menuduh para perancang tak pernah naik transportasi publik, dan mengenali jalan kaki pun hanya di taman dan dalam mal atau malah lapangan golf, dan bisa juga saat bepergian ke luar negeri.
Karena hanya muat satu orang, pengguna @pt_transjakarta di Halte Cikoko Stasiun Cawang harus saling bergantian antara yang naik dan turun.
Sc @alfizull pic.twitter.com/UtfWXICt4P
— Jalur5 Media (@jalur5_) February 21, 2023
Lumayanlah ada kemajuan. Mosok bikin fasilitas modern ndak bisa wong duitnya ada. Buat apa bikin studi banding ke luar negeri kalau cuma jadi studi banting karena penentu kebijakan tak berminat.
Saya sih berharap di IKN nanti, sebagai bandar baru yang dibangun sejak masih berupa hutan belukar, fasilitas modernnya lengkap dan beradab, yaitu memuliakan pejalan kaki agar mereka nyaman dan aman.
NPL: Lorong yang sulit untuk berpapasan di Stasiun Cawang (2018)