Ditanya apakah pernah dioperasi

Pengalaman selama dirawat di RS membekaskan trauma. Saya menyadarinya lima tahun kemudian.

▒ Lama baca 2 menit

Bisul dalam perut sebesar jeruk keprok

Prompt dari WordPress di aplikasi Jetpack bertanya apakah para pengguna pernah mengalami bedah medis. Saya tergoda untuk menjawab.

Ada dua soal utama. Pertama: saya dulu tidak tahu akan dioperasi. Kedua: bau rumah sakit pernah terbawa ke kantor yang saya tinggalkan.

Inti cerita, suatu sore, 1994, istri saya sepulang dari luar kota mendapati saya tak berdaya. Lemas. Keringat tiada henti. Malam itu saya masih tahan.

Saya lupa kenapa saat itu tak ke UGD terdekat. Namun saya ingat, siang sebelumnya saya sudah mencari tahu internis di RS Carolus. Saat itu rumah belum punya telepon, dan ponsel juga belum jamak.

Esok hari saya diantar naik taksi ke Carolus. Dokter melarang saya pulang, langsung dicarikan kamar, dan dapat, sebuah ruang rawat entah. Apa penyakit saya masih harus diobservasi.

Di ruang itu saya bertetangga ranjang dengan seorang pria gagah. Penampilannya rapi bersih. Dia masuk bawa setumpuk buku. Saya tak berdaya. Untuk duduk pun sulit. Malam merambat, jantung saya makin berdegup amat kencang, sampai es batu di dada berloncatan. Perut sangat nyeri tetapi bukan mulas seperti diare.

Dia, pria rapi itu, setelah berganti piama bekal kemudian gosok gigi, lantas duduk di ranjang, membuka buku. Tak lama kemudian serombongan orang berpakaian kantor, ada yang berdasi, datang dan mengajak pria itu pulang.

“You nggak sakit. Ayo pulang,” salah seorang membujuk.

“Aku sakit. Aku mau dirawat di sini,” sahut tetangga ranjang itu. Selanjutnya saya tak tahu. Mungkin saya tertidur. Mungkin pingsan. Malam saya terbangun, merasakan sakit yang sulit saya ceritakan.

Esoknya teman kantor termasuk bos saya datang. Saat itu pula saya dipindah ke ICU. Ada kabel, selang infus, dan sonde yang terhubung ke tubuh saya. Istri saya membisiki, saya akan ditangani secara khusus.

Esoknya saya dipindah ke sebuah ruang. Lalu diajak ngobrol perawat pria dan tertidur. Saya bangun, entah berapa jam kemudian, sudah di ranjang ICU lagi.

Ya, saya telah dioperasi. Istri saya yang menandatangani dokumen dengan menangis. Kalau tak segera ada tindakan, saya akan lewat. Organ tubuh saya kacau. Cerita yang kemudian saya dengar dari istri, sempat ada dugaan gagal ginjal, satu ginjal akan diambil. Ibu saya datang dari Yogyakarta, siap mendonorkan salah satu ginjalnya.

Namun tim dokter memutuskan jangan ambil ginjal dulu. Dan untuk itulah operasi dijalankan: cairan abses sebesar jeruk keprok di belakang pankreas harus disedot keluar. Itulah si sumber masalah.

Singkat cerita, putusan dokter itu benar. Hanya beberapa hari saya di ICU lalu pindah ke ruang rawat, dan seminggu kemudian boleh pulang. Memang sih ada saja masalah di ruang rawat pascaoperasi, dari kulit mengelupas setiap kali plester diangkat sampai 1.200 cc urine langsung memenuhi kantong setelah kateter ditancapkan lagi ke lorong penis dengan tiga kali ganti ukuran.

Lalu ruang pertama yang bersama pria rapi usia 40 tahunan itu tempat apa?

Itu tadi ruang rawat psikiatri. Saya ditempatkan di sana karena semua ranjang penuh kecuali yang VIP.

Lalu kenapa ada abses? Kata dokter setelah saya dioperasi, ada amoeba tak tuntas terbasmi saat saya disentri. Oh, saya ingat: setahun sebelumnya saya disentri dan ditangani klinik 24 jam. Istri saya saat itu sudah pulang kampung, ambil cuti melahirkan.

Setelah boleh pulang saya harus kontrol ke dokter. Saya tanyakan perihal amoeba dan bisul besar bernanah dalam perut itu.

Pak Dokter bilang, “Kamu orang lapangan, pasti pernah terpaksa makan jorok.” Saya tak menyangkal. Ini memang masalah orang yang sering bekerja di luar gedung kantor.

Lalu? Mari melompat maju ke tahun 1999. Saya mengundurkan diri dari salah satu anak perusahaan karena tak cocok, lalu kembali ke divisi sebelumnya. Sebelumnya, saat saya diposkan ke tempat baru itu ada janji dari manajemen, “Kamu boleh cabut dari sana dan kembali ke sini kapan aja.”

Suatu hari sebagai bekas penghuni kantor saya mampir ke gedung yang kini jadi hotel itu. Begitu masuk lobi, saya langsung diserbu bau rumah sakit, menjadi agak mual, sempat sedikit pening. Saya bersandar ke tembok. Akhirnya perasaan aneh itu memudar dan lenyap. Cuma berlangsung sekitar tiga menit.

Masalah ada pada kesehatan mental saya. Bukan pada gedung maupun orang-orang di bekas kantor itu. Rumah sakit adalah pengalaman buruk. Rekaman atmosferisnya berjejak dalam benak saya. Rupanya saat bekerja enam bulan di kantor itu saya menderita.

Selama bekerja dulu saya menyadari bahwa saya tertekan, jerawat besar muncul bergantian, namun tak menyangka bakal muncul gejala bau rumah sakit setelah semuanya berlalu.

Hubungan saya dengan bekas kantor itu baik. Tiga empat tahun setelah peristiwa bau rumah sakit itu saya diundang dalam forum internal untuk membual. Bukan tentang kesehatan sih.

Prompt dari WordPress: apakah Anda pernah dibedah?

¬ Gambar praolah: Tokopedia

Tinggalkan Balasan