Saya tak tahu apakah lima enam tahun lagi anak yang terlahir pada masa pandemi, awal 2020 — medio 2023, mengenal kata koran apalagi surat kabar. Ini soal mengenal kata atau sebutan tentang sesuatu. Tanpa harus pernah melihat apalagi memegang.
Nama benda akan lenyap, hanya tercatat dalam kamus, jika barangnya tidak ada dalam keseharian. Misalnya kata pening yang bukan pusing dengan nama alias plombir. Orang sebaya saya yang tak pernah bersepeda malah tak tahu sama sekali, padahal bukan orang Jakarta. Waktu saya bocah tak pernah terjaring razia plombir di jalan tetapi saya tahu tanda tera tahunan tersebut karena tertempel pada sepeda.
Pikiran itu muncul saat saya melihat jualan penerbit koran Kompas di Tokopedia berupa koran cetak secara eceran. Bahkan ada edisi yang dijual inden, berisi TTS khusus ultah Kompas; sampai siang ini sudah terjual lebih dari 30 eksemplar. Di Bukalapak, lapak Harian Kompas masih kosong dagangan. Sedangkan lapak di Blibli tak ada penawaran koran eceran berisi TTS.
Jika pemesan tinggal di tempat jauh dari agen Kompas, apakah harga koran sepadan dengan ongkos kirim? Mungkin niat penerbit lebih untuk merawat kesadaran jenama di benak konsumen media.
Penerbit koran terus berupaya bertahan sebelum akhirnya koran kertas tak ekonomis lagi untuk diterbitkan. Ada yang berpromosi melalui radio, misalnya koran Jogja Kedaulatan Rakyat yang beriklan di Retjo Buntung. Nomor telepon bagian sirkulasi juga disertakan.
Lebih cepat manakah mencari nomor telepon koran di internet daripada mengingat atau mencatat dari dengaran di radio?
@gendulbotol Koran KR hampir 80 tahun usianya, tiras lebih dari 40.000 eksemplar, beriklan di Radio Retjo Buntung Jogja. Sampai kapan koran cetak bertahan? #koran ♬ suara asli – Antemono Tempilingen
2 Comments
Bagi saya, lebih cepat mencari nomor telepon koran di internet daripada dari radio karena saya enggak pernah nyetel radio. Bagaimana bagi Paman, yang masih sering nyetel radio?
Kadang bosen sama musik thok saya nyetel radio daerah 😇