Bagi orang dremba, artinya banyak makan, berlaku prinsip “kumpul ora kumpul pokoké mangan” dan “énak ora énak yèn gratis kudu tambah“.
Salah satu penyebab rem blong, sehingga tak berhenti makan sebelum kenyang, adalah sambal dan masakan pedas. Tentu hal itu hanya berlaku bagi pengabdi cabai.
Padahal kiat utama mengatasi kepedasan adalah menambah nasi. Lalu memasukkan makanan pedas lagi. Dan ambil nasi lagi.
Saya tak tahu apakah di warung yang saya lewati saat pagi, sehingga belum buka, ada pembatasan frekuensi dan volume penambahan nasi. Bisa saja tambah nasi hanya sekali gratis tetapi ambil sambal silakan sesuka hati dengan syarat harus dihabiskan. Jika tidak, kedai akan mendenda pengudap. Ya, seperti di kedai all-you-can-eat.
Malam saya lewat sana, kedai itu tak diisi pengudap. Mungkin laris manis, sambalnya habis.
Kalau asupan nasi berlebihan terlalu sering, padahal tak diimbangi acara membakar kalori, semua orang tahu hal itu membahayakan kesehatan. Orang-orang dremba tanpa perhitungan, kata Mbilung Ndobos, tak beda dari karung bergigi. Semua makanan itu enak dan enak sekali, layak didoyani.
Namun ada satu hal yang tak saya pahami tentang para maniak pedas berlevel maksimum. Saya belum pernah melihat seorang dari kaum itu menyesap saset sambal maupun minum botol sambal selayaknya bayi ngedot.
¬ Infografik: Kompas.id (23/6/2023)
2 Comments
Kalimat terakhir dalam paragraf terakhir, saya juga (nggak pernah lihat).
Kalimat terakhir dalam paragraf keenam, saya juga (ngertinya cuma enak dan enak banget 😁).
Alinea ketiga, saya juga (dahulu kala, saat masih doyan sambel, dengan catatan sambelnya tidak terlalu pedes. Tapi sudah sejak beberapa lama saya stop sambel karena gampang diare, dan punya sakit mag).
Coba amatilah di kedai. Di pasar dan supermarket saya blm pernah lihat orang mencicipi cabai. Padahal tingkat kepedasan cabai rawit maupun cabai setan gila itu variatif lho.