Foto ini biasa. Di media sosial jauh lebih banyak. Soal wisuda TK. Bahkan ada yang disiarkan secara langsung via YouTube. Lalu?
Foto ini menarik karena merupakan foto berita di koran Kompas dengan kapsi membingkaikan konteks: wisuda TK hingga SMA adalah biaya, yang menanggung tentu orangtua wisudawan dan wisudawati.
Kapsi foto ini memang opinionatif. Memangnya mengutip siapa, atau merujuk data apa, kok dibilang “mendapat banyak kritik”?
Itulah kekurangan foto berita tunggal dengan kapsi sebagai berita ringkas. Tak beda dengan kapsi yang menyebutkan kenaikan harga cabai memberatkan masyarakat.
Tetapi bukan soal jurnalistik yang saya bahas. Saya lebih tertarik ini: sejak kapan TK mengenalkan wisuda?
Pertanyaan berikutnya, siapakah yang lebih dulu mewisuda lulusan, dari SMA turun ke jenjang lebih rendah ataukah sebaliknya?
Mungkin soal riwayat wisuda TK ini tak penting. Pihak sekolah bisa saja berdalih itu keinginan orangtua murid. Sedangkan orangtua dengan santai bisa bilang, “Emang ada yang dirugikan? Apa sih susahnya kasih kegembiraan sekali aja buat anak? Pake jubah cuma sekali aja. Kalo sekolah di Hogwarts ya pake jubah terus!”
Tak ada yang salah dengan upacara wisuda apapun, dari kenaikan jenjang bela diri sampai tamat kursus rias pengantin. Bahkan di lingkungan militer ada wisuda perwira remaja untuk taruna yang telah menyelesaikan pendidikan setamat SMA.
Lalu apakah wisuda TK hingga SMA juga harus mengenakan toga? Saya tak tahu jawabannya. Saya juga tak tertarik membahas riwayat seremoni akademis bernama wisuda maupun membahas perbedaan graduation dan convocation — apalagi membahas jubah dan topi wisuda beserta tali kucirnya. Biarlah para guru yang menjelaskan.
Saya lebih tertarik menceritakan seorang teman setelah diwisuda. “Lega,” katanya.
Kenapa?
“Saat kuliah kan malu kalo ditanya yang berhubungan sama bidang studiku tapi nggak bisa jawab.”
Lalu setelah diwisuda?
“Nggak ada beban kalo nggak tau apa-apa. Universitas kan gudang ilmu. Setelah kita lulus ya ilmunya dibalikin ke gudang.”