Lumpur Lapindo: Dari konten pengingat hingga buku sekolah

Konten visual statis dari media berita, ihwal Lapindo dan lainnya, mestinya secara legal bisa masuk buku sekolah.

▒ Lama baca 2 menit

Korban lumpur panas Lapindo

Misalnya tahun ini usia saya 17 tahun, sehingga tahun depan boleh mencoblos pemilu, mungkin saya antara langsung ingat dan cuma pernah dengar ketika seseorang menyebut kata Lapindo. Untunglah ada ponsel, sehingga jika berminat saya akan mencari penjelasan apa itu Lapindo.

Perkembangan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jatim

Jika saya belum berminat mencari kejelasan, saya akan marah jika dibilang tak punya apresiasi terhadap sekian keping kesejarahan Indonesia kontemporer, “Emangnya sejarah cuma yang ada di kelas? Musik, film, ama lifestyle, sports, kuliner, di periode aku mulai kelas empat SD tuh aku paham.”

Arsip berita lumpur Lapindo Bakrie

Apalagi saya masih muda, tinggal bukan di Jatim pula, dalam usia sekarang pun saya tak ingat sepenuhnya perihal lumpur panas Lapindo yang bermula dari pada 2006. Ada juga yang menyebutnya Lumpur Sidoarjo. Pilihan kata menunjukkan posisi penyebut.

Infografik lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jatim

Jika tak ada media mengingatkan, mungkin secara bertahap saya akan lupa. Renungan itu muncul saat melihat jejalan infografik dalam satu paket laporan Kompas.id (13/6/2023). Adapun foto pertama dalam posting ini saya comot dari galeri bebas akses 21 Mei 2021.

Tugas media berita apa pun memang mengingatkan banyak hal. Ini bisa menjadi pilihan sulit, karena secara internal bisa muncul perdebatan dengan satu titik masalah: apakah kontennya bakal menarik dan dihiraukan pembaca?

Infografik lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jatim

Amnesia kolektif itu manusiawi. Demikian pula minat terhadap sebuah isu yang sudah berlangsung lama. Setiap masyarakat mengalami. Tentu media adalah bagian dari kehidupan masyarakat. Banyak hal bisa menjemukan tak hanya bagi pembaca tetapi juga redaksi, seolah kehidupan tak beringsut.

Maka dalam isu semacam Lapindo, hal yang dapat dilakukan media berita — pun media lain nonberita — adalah mengingatkan dengan capita selecta. Pihak penyaji menjadi kurator. Dengan robot pasti lebih terbantu.

Buku tentang lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jatim

Contoh bunga rampai Lapindo adalah buku Percikan Lumpur Sidoarjo ( Sunaryo Suradi et al, Surabaya Post: 2009). Dalam buku setebal 371 + xii halaman, yang diangkat dari liputan tabloid Solusi, ada sejumlah laporan di seputar danau lumpur. Kisah anekdotal juga ada.

Buku tentang lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jatim

Buku tentang lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jatim

Jika menyangkut hasil kerja kuratorial, sebenarnya aneh. Di zaman informasi serbaberlimpah, bisa dicari sendiri, orang masih butuh panduan.

Saya termasuk bagian dari paradoks itu. Saya masih menaruh kepercayaan pada sekian otoritas tertentu yang dikukuhkan secara sosial, sejak pereviu mobil sampai pereviu gawai di YouTube hingga peresensi musik, film, dan buku — tetapi untuk tiga terakhir ini akhirnya saya tak memedulikan, mungkin makin tua saya makin keminter untuk menutupi ketidaktahuan.

Infografik lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jatim

Maka tulisan ini menjadi tak langsung bertaut dengan sejumlah infografik dari paket laporan Kompas.id karena saya membicarakan hal lain. Saya tak khusus membahas Lapindo.

Info seputar Lapindo bertebaran di internet, terutama konten lama. Pada 2010 Goenawan Mohamad mengembalikan Bakrie Award yang dia terima pada 2004 (¬ Detik). Perusahaan keluarga Bakrie adalah pihak yang mestinya bertanggung jawab atas lumpur Lapindo.

Infografik lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jatim

Lalu lumpur Lapindo itu bencana industrial, artinya harus ada yang bertanggung jawab, ataukah bencana alam sehingga negara harus ikut mengongkosi dampak? Silakan Anda telusuri. Demikian pula berita lain, yang mungkin bagus, semisal kandungan logam tanah jarang (rare earth element) di lokasi.

Sekalian melenceng, saya melamunkan dunia pendidikan. Lho? Misalnya saja penerbit media semacam Kompas dan Tempo, dengan konten visual statis, bukan yang interaktif, mengizinkan pemakaian gambar untuk buku pelajaran sekolah tentu sungguh mulia.

Eh, tapi bukannya ada koleksi daring Perpustakaan Nasional, yang mestinya juga memiliki buku konten visual terbitan media? Maaf, saya masih memiliki residu kultur kertas sambil menikmati konten digital. Mungkin ini ciri wong lawas.

© Infografik: Kompas.id

Tinggalkan Balasan