Misalnya ada pembaca dari kelompok demografis U-30 tersesat ke Blogombal.com dan membaca posting ini pasti dia akan membatin, “Ini yang punya blog pasti ABG, angkatan babe gue. Udah dua puluh lima tahun pake pascabayar. Apa hape dia pertama kali?”
Maka saya tuliskan enam butir kisah…
- Ponsel pertama saya adalah Ericsson GH688, harganya menjelang akhir 1997 adalah Rp1,7 juta — saat itu 1 USD setara Rp3.50000-an tersebab krismon mulai meniup Asia — sehingga menurut Inflationtool nilainya sekarang Rp12,9 juta
- Kala itu belum ada nomor prabayar Simpati, opsinya hanya pascabayar, yakni kartuHALO, dan tidak bisa membeli di gerai ponsel Roxy, harus mendaftar dengan bukti tagihan PLN dan Telkom ke Graha Setdco, milik Setiawan Djody, di Jalan Casablanca — dia dulu adalah satu pemegang saham Telkomsel
- Proses pendaftaran pascabayar tak sehari jadi, harus menunggu seminggu lebih, diselingi kunjungan petugas verifikasi ke rumah seperti terhadap pendaftar kartu kredit zaman dulu
- Pembayaran tagihan bisa tunai ke loket khusus dan via kasir bank berupa setoran, angka pembulatan ke atas tak dapat diklaim untuk restitusi maupun deposit
- Untuk SMS belum dapat lintas operator karena layanan ini baru ada pada 2001, namun melalui aplikasi ICQ dan layanan di internet bisa
- Selama beberapa tahun roaming menjadi pembengkak tagihan, jadi kalau saya di luar kota dan menerima telepon akan kena biaya, begitu juga jika di luar kota saya menelepon nomor Jabodetabek
Untunglah zaman berubah sehingga telekomunikasi kian memurah apalagi setelah ada VoIP seperti WhatsApp. Pada awal 2000 penyedia layanan VoIP dianggap melakukan kejahatan, yaitu menggalang dana tanpa izin (¬ lihat arsip tahun 2000 Liputan6 dan Hukumonline). Jahiliah betul. Memusuhi kemajuan teknologi karena pendapatan Telkom terganggu.
Soal lain di luar loyalitas pelanggan? Saya tak bicara AI karena ini muluk-muluk bagi saya. Saya cuma heran, Telkomsel dan aneka perusahaan lain memiliki profil setiap pelanggan, kenapa menyapa semua pelanggan sebagai “kamu”? Mungkin besok “kalian” dan “lu”.
Meskipun demikian, Telkomsel menyebut diri “kami”, bukan “kita”. Artinya mereka paham bahasa Indonesia.
7 Comments
Saya pernah pakai SMS (gratis) via layanan, kalau tak salah ingat, portalkilat.com lalu lippostar.com pada tahun 2000-an. Paman pernah pakai apa?
Oya saya pertama kali pakai ponsel antara 1999-2000 (lupa pastinya). Yang pasti, saya dimutasi pihak kantor dari Solo ke Jakarta akhir Juli 1998, dan beli ponsel pertama (bekas) beberapa waktu kemudian.
Saya lupa pakai layanan apa saja. Selain ICQ saya pakai layanan web dari Afrika Selatan
Aku sebal banget kalau ada yang gak bisa bedain “kita” dan “kami”. 🤭
Pejabat kepolisian senang pakai kata “kita”. 😁
Begitu pula pejabat lain 🙈
Mungkin meniru bahasa pergaulan anak Jakarta sejak awal 1970-an.
Tapi orang Jawa saat berkrama madya kadang juga menyebut kita (baca: kito) yang artinya sama dengan kita dalam bahasa Indonesia. Misalnya, seorang istri menceritakan suami dan anak-anaknya, “Kita piyambak inggih mboten rumaos manawi lablab lagi…” Padahal maksudnya kami.
Kelebihan bahasa Indonesia punya dua jenis kata orang pertama jamak yaitu kami dan kita.
Bahasa Inggris hanya mengenal “we” 😁
👍