Sudah tiga tahun saya tak menjejakkan kaki di daerah Kota, Jakarta. Sebelum pandemi pun saya jarang. Sejak Februari 2020 hingga tadi malam saya jarang pergi. Tadi malam saat ditraktir makan adik di sana, istri saya bertanya kenapa kios kondom di pinggir jalan — tepatnya: bahu jalan — tak sebanyak dulu. Saya juga heran.
Padahal dahulu kios kondom di Jalan Gajah Mada ke arah Glodok banyak sekali. Mobil transmisi manual baru bergerak dan akan masuk gigi tiga sudah bersua penjual kondom, pelincir, dan afrodisiak. Pada masa jaya DVD, penjual cakram berkonten cabul juga melapak malam hari di bahu jalan.
Kios kondom di daerah sana itu hal biasa karena di sana banyak tempat hiburan siang malam. Bahkan kios rokok pun menjual kondom. Petugas bilik di panti pijat dan karaoke karoaku juga mengantongi kondom untuk dijual kepada pemakai bilik. Demikian pula para wanita penghibur, punya stok selongsong dalam dompetnya.*
Aneh juga, padahal di kasir minimarket yang buka hingga dini hari bahkan 24 jam juga ada kondom.
Kelak setelah dispenser kondom ada di setiap tempat hiburan, akankah kios di bahu jalan yang selalu buka malam hingga pagi, bahkan saat hujan gerimis, itu bertahan?
Total temuan HIV positif hasil kerja kantorku udah tembus 100 orang lebih.
Kebanyakan faktor resikonya hampir sama ketemuan sama orang di sosmed memutuskan tidak pakai kondom karena fisik partner sexnya bagus :(
Padahal HIV nggak milih-milih orang, selama beresiko ya bisa kena
— Meledak (@namasayalaut) May 29, 2023
Moral cerita: menjaga kesehatan itu penting. Maka kondom harus mudah didapatkan.
*) Tidak melayani pertanyaan “Kok tau?”
3 Comments
*) Kartawan eh wartawan kan serbatau.
Njenengan dulu wartawan kan? 😁
Haaaayah.