Orang-orang menyebut jam dua sisi yang digantungkan ini jam stasiun. Alasannya, mengingatkan mereka pada jam di stasiun kereta api zaman dahulu. Saya memotretnya tadi pagi menjelang siang di sebuah teras rumah. Penunjuk waktu hanya berselisih satu menit lebih cepat dari data foto yang mengikuti jam ponsel.
Untuk bernostalgia, di lokapasar tersedia aneka jam model stasiun berpenggerak quartz. Saya menduga jam stasiun zaman dahulu menggunakan tenaga pegas yang harus diputar secara berkala untuk menggerakkan roda gigi utama.
Dulu di rumah keluarga saya juga ada jam dinding yang pegasnya harus diputar dengan engkol. Alat pengengkol itu mirip kunci berkuping untuk memutar mainan bebek-bebekkan dari kaleng.
Sampai kini saya masih mengagumi jam analog, terutama yang tak digerakkan oleh baterai kancing. Ada sekian roda bergerigi yang bergerak agar sang penunjuk waktu tetap bekerja dengan prinsip detik, menit, jam. Satu menit adalah 60 detik dan seterusnya, dengan penampakan visual pada piringan yang berprinsip lingkaran 360°. Posisi jarum pada pukul dua siang dan dua dini hari sama. Namun dalam keadaan sadar orang tahu itu siang atau malam, apalagi jika di luar ruang.
Lalu urusan mesin jam setelah menunjukkan waktu adalah ketaatan manusia pada pengaturan waktu yang disepakati. Nyatanya kita masih mengenal jam karet. Jangankan pertemuan warga, rapat di kantor saja bisa ngaret karena yang berlaku bukanlah time is money melainkan time is waktu. Kalau gajian harus selalu tepat tanggal, harus maju kalau tanggal terjadwal jatuh pada tanggal merah.
Suasananya masih menunjukkan Stasiun KA zaman dulu: ruang kepala stasiun, loket, peron, jam kuno dll #Ambarawa pic.twitter.com/hiyFZS1r7p
— Kereta Api Indonesia (@KAI121) August 13, 2014
3 Comments
Dahulu kala jam begitu itu ada dipasang juga di Stasiun Solo Balapan. Sekarang? Saya tidak tahu karena sudah bertahun-tahun tak masuk Solo Balapan. Dahulu, saat bekerja di Jakarta, saya rutin naik sepur dari Solo Balapan ke Jakarta Gambir pergi pulang tiap dua pekan.
Besar kemungkinan jam kuno tersebut sudah tidak ada, karena Solo Balapan sudah jadi stasiun modern seperti ini :
https://regional.kompas.com/read/2019/08/07/18442121/ini-peron-termegah-di-indonesia-terletak-di-stasiun-solo-balapan
Mestinya jam lawas tetap dipertahankan. Sekarang ada di kolektor? 🙈
Kalau nanti suatu saat saya ke mBalapan, akan saya pastikan masih ada nggak.