Koran bekas untuk menutupi sekian pernik peralatan kecil ini menyadarkan saya bahwa waktu cepat melaju. Time flies, kata orang Inggris. Mungkin yang mereka rujuk itu alap-alap kawah, atau peregrine falcon (Falco peregrinus), burung tercepat di dunia, bisa terbang hingga 390 km/jam.
Koran bekas yang saya maksud adalah Kompas, edisi Rabu 12 Mei 2021, sehari sebelum Idulfitri. Dua tahun silam, melanjutkan tahun sebelumnya, isu Covid-19 mencengkeram kehidupan kita. Apapun yang sifatnya kerumunan pasti rentan penularan. Maka tarawih berjemaah, buka puasa bersama, mudik, salat Ied, halalbihalal terikat oleh protokol kesehatan. Ibadah di agama lain juga. Nyatanya menurut berita, walakin pemerintah melarang mudik, tetap saja banyak yang pulang kampung.
Kini kita merasa itu semua tinggal kenangan buruk. Terutama kita yang tak mengalami dampak langsung yakni kehilangan orang-orang tercinta, terlebih anggota keluarga terdekat.
Bukan berarti kita melupakan semua itu. Kita tak hanya memahami kenapa TPU lekas penuh dan sejumlah anak menjadi yatim piatu, tetapi kita juga mengerti bahwa kehidupan harus terus berjalan.
Saya pun masih ingat tak dapat melayat tetangga, kerabat, dan relasi yang meninggal karena Covid-19. Saya ingat suami dan istri yang meninggal di dua rumah sakit berbeda yang amat berjauhan, beda kota beda provinsi, karena sulit memperoleh tempat perawatan. Anak-anak mereka tetap di rumah.
Saya masih teringat suara sirene ambulans datang pergi yang mendatangkan kecemasan. Masih melekat di benak, ketegangan diri saat Toa masjid menggaungkan Inna innalillahi wainnailaihi rojiun… Jika ada keterangan “meninggal karena sakit” berarti bukan lantaran “kopid”.
Rasanya itu semua baru kemarin.