Mendusin. Kata ini aku kenal saat SD dari buku cerita silat Cina tetapi bukan karya Kho Ping Hoo. Tengah malam tadi, pada pergantian hari, aku terbangun. Setelah itu kancilen — ini istilah Jawa, artinya tidak bisa tidur.
Aneh juga, dua malam ini aku selalu terbangun dan kancilen padahal aku penat berat, tertidur lebih awal, sebelum pukul sepuluh, dalam buaian musik ambient sejak sore, sempat kucoba album baru Brian Eno yang dirilis April ini. Pukul sembilan hingga dua belas malam adalah saat melatonin diproduksi. Hormon ini mengatur bioritme.
Tetapi si dusin dan si kancil mengusik tidurku.
Semoga dini hari nanti, artinya antara pukul tiga hingga lima pagi, aku sudah dijemput kantuk. Umumnya manusia adalah diurnal, hidup siang hari, bukan nokturnal yang hidup pada malam hari.
Tetapi aneh, mendusin atau ngelilir malam ini menghadirkan sekeping kesadaran baru. Di rumah sendiri aku baru sadar bahwa ketika lampu teras kunyalakan, pantulan dari plafon miring terproyeksikan ke dinding ruang depan nan gelap. Boneka kayu kucing memancing pun lebih menampak. Bayangan ikan di ujung senar joran pun terlihat. Kemudian kupotret.
Aneh. Aku dulu sering pulang malam. Tetapi aku tak pernah menghiraukan pemandangan ini. Aku justru sering terkesan siang hari saat pantulan kaca mobil tetangga memapar rak tempat kucing memancing duduk. Ternyata kesadaran selalu bergerak seperti gambar hidup. Termasuk kesadaran tentang ruang yang menjadi perlindunganku: rumah.
Terbangun dari tidur bisa memantikkan keisengan dalam diri. Bermula dari ketampakan kucing memancing dalam temaram ruang. Lalu aku tulis. Mengalir begitu saja. Sangat personal. Tak ada artinya bagi orang lain.
Aku bersyukur. Masih punya kesadaran. Pun keisengan. Memotret lalu menulis dengan membiarkan isi benak menjalar ke mana-mana, sementara kedua jempol terus mengetik di atas layar sentuh ponsel.
Ada saatnya nanti kesadaranku kian menipis, dan terus terkikis, sehingga ketika aku terbangun mungkin tak dapat membedakan siang dan malam, lalu tak bangun lagi untuk seterusnya.
Aku tutup solilokui ini saat Hannah Peel dan Paraorchestra hampir purna melantunkan “The Universe Before Matter”. Artis dan judul lagu ini baru aku ketahui sekarang setelah aku melongok Spotify di tablet dengan suara bermuara pada sepiker Bluetooth. Sejak tadi, sebelum tidur, aku memutar playlist Classical X — bukan Symphony X yang tak cocok untuk menjemba kantuk gerbang mimpi — karena jebakan manis algoritma.
5 Comments
Boneka kayu kucing memancing itu celengan bukan, Mas? Dulu pernah lihat ada orang yang punya celengan bentuknya gini ehehe.
“Buku cerita silat China tapi bukan karya Kho Ping Hoo” 😂 terdengar stereotyping. Tapi betul ya, kebanyakan pasti akan terbayang Kho Ping Hoo kalau ada kata silat China ehehe.
Ini kok tulisannya serasa ada kandungan poetry-nya ya. 😊👍
Halo Mbak Uril. Itu bukan celengan. Hiasan biasa, kayu lunak spt sengon dicat duco.
Njenengan dulu suka cersil Cina juga? 😇
Suwun untuk apresiasi Njenengan 🙏
Tadi, tiga puluh menit lalu, eh sebelum jam 6 ding
Lalu hari ini Paman bangun pukul berapa?
Pagi dong