Selain dibelenggu post-holiday blues, ada juga orang yang rindu kantor saat prei lama. Manusia pekerja memang bisa aneh.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Sindrom pasca-Lebaran eh libura

Topik suasana hati dan jiwa suntrut di tempat kerja setelah liburan Lebaran dibahas di mana-mana. Bahkan stasiun radio, misalnya Brava, pun tadi pagi membahas post-holiday blues dengan mewawancarai psikolog. Namun ada tanggapan menarik dari seorang pendengar: dia kangen kantor.

Lingkungan kerja bisa menjadi dunia utama bagi sebagian pekerja. Setidaknya dari sisi kehadiran dan durasi dalam sehari. Jika ditambah masa tempuh berangkat dan pulang kerja, jatah waktu domestik mungkin tinggal sedikit. Sisa waktu yang ada itu pun dipangkas untuk tidur sehat delapan jam dalam 24 jam.

Tentu setiap orang itu otentik. Saya pernah jadi doktor (mondok di kantor) tetapi saya belum pernah selama liburan kangen kantor. Yang saya rasakan ketika liburan hampir usai, waktunya masih kurang. Meskipun demikian setelah kembali ke kantor saya langsung menyesuaikan diri. Bahkan di kantor terakhir, saya berlibur akhir tahun pun masih menulis dan membuat infografik secara remote tanpa ada yang menyuruh. Tak tega melihat ada konten yang berkurang.

Bagi banyak orang, lingkungan kerja adalah lingkungan sosial yang membuat nyaman. Kantor menjadi ruang kehidupan. Makan bersama, nobar, futsal, karaoke, ngopi bareng sehabis kerja….

Saya pernah lebih dari sekali mendengar orang bilang senang setiba di kantor ramai banyak orang. Salah satu alasan, kalau ingin sepi menyendiri ya di indekos saja. Orang yang sama dan yang sejenis setiba di kantor kuciwa karena senyap: banyak yang cuti, tugas keluar, dan yang tersisa asyik di depan komputernya.

Kalau saya sih suka kantor sepi, yang penting tenaga pendukung komplet: OB, cleaning service, satpamwan, dan sekretaris. Setidaknya ada satpamwan. Maka sepanjang ada kebebasan memilih jam masuk — kecuali ada rapat — saya bisa tiba di kantor pukul sembilan malam. Sudah sepi. Yang penting ada hasil, melebihi target.

Tentang kangen kantor, suatu siang pada abad lalu dari bandara Soekarno-Hatta saya satu taksi dengan seorang perempuan awak media. Menjelang sampai perempatan besar dia bimbang: kalau belok kiri pulang ke indekos dan bakal kesepian, kalau belok kanan dia menuju ke kantor tetapi tas dan bawaan lain merepotkan.

Akhirnya dia memilih saya drop di indekos. “Aku cuma mau naruh barang, mandi, lalu ke kantor. Udah nggak sabar ketemu temen-temen, mau cerita banyak, Mas,” ujarnya.

Lho, setelah hampir seminggu tugas luar kota bukannya ada hak rehat sehari?

“Soalnya ini pertama kali aku ke Bali dan exited banget. Pengin cerita banyak,” dia berterus terang.

Ya, setiap orang berbeda. Apalagi saat itu internet belum menjadi kebutuhan, media sosial selain milis adalah barang langka, bahkan Hotmail pun belum ada. Tak ada kesempatan berbagai cerita dari jarak jauh selain dengan telepon interlokal dan faksimile.

¬ Gambar praolah: Freepik

4 thoughts on “Sindrom pasca-Lebaran eh liburan

  1. Pernah berkantor di empat kota (Solo, Jakarta, Surabaya, dan Yogya), dengan tempat tinggal di Solo, saya pun, seperti Paman, sempat jadi doktor sekitar tiga tahun di kantor Surabaya.

    Selama bekerja 25 tahun di empat kota itu (di dua perusahaan media yang satu grup) saya jarang ambil cuti sehingga setiap tahun ada saja jatah cuti saya yang hangus.

    Sekarang, setelah hampir empat tahun pensiun, saya sering takjub mengapa dahulu bisa, dan senang, nglakoni itu semua….

    1. Di tempat kerja pertama saya, cuti tidak hangus. Sebelum ada cuti paksa bernama cuti bersama, saya tahun ini bisa menggunakan kuota cuti tahun sebelumnya. Tapi cuti bersama membuat orang tekor cuti bahkan mengutang cuti tahun mendatang. Cuti paksa adalah kesalahan Megawati, ngalah thd ASN yang sering memanfaatkan hari kejepit.

      Hanya awak redaksi yang bisa krn gak mengenal lembur. Hal itu diatur dalam buku perubahan. Bodoh dan naifnya saya menganggap semua media begitu dan anggap semua perusahaan media memberikan dua kali THR.

      Soal mengapa dulu Lik Jun bisa ya karena cinta thd pekerjaan yang dilakoni. Tapi orang lain mungkin akan anggap workaholic . Atau ada yang anggap masokis korban eksploitasi kapitalis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *